Catatan

Kisah Hages Budiman sebagai Perempuan dan Ibu dengan HIV

Mengetahui mengidap Human Imunodeficeiency Virus ( HIV), bukanlah perkara mudah. Penyakit ini masih dianggap penyakit kotor, mematikan, dan aib. Di sisi lain, banyak pengidap HIV yang meninggal lebih cepat karena kurangnya pengetahuan. Tak sedikit yang enggan memeriksakan kondisi virus sehingga menurunkan kualitas hidup. Berdasarkan data Laporan Perkembangan HIV/AIDS Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, persentase infeksi HIV yang dilaporkan pada tahun 2016 mencapai 41.250 orang. Rinciannya, 26.099 laki-laki dan 15.151 perempuan. Meski menjadi momok, banyak orang dengan HIV-AIDS (ODHA) yang terus berjuang untuk hidup.

Salah satunya adalah Hages Budiman. Sejak mengetahui dirinya positif terinfeksi pada 2006, hingga kini Hages tetap menjalani aktivitas seperti sedia kala. Tak hanya itu, Hages juga memiliki kesempatan membesarkan ketiga anaknya. Hages menceritakan, hal ini bermula sejak 40 hari dia melahirkan anak pertama. Saat itu, suaminya sakit. Setelah melakukan sejumlah pemeriksaan, suaminya didiagnosis positif HIV. “Dan saya pun disarankan untuk segera diperiksa. Namun saat itu hasilnya masih negatif. Dokter menyarankan 3 bulan kemudian untuk cek lagi,” kata Hages.

Dalam pemeriksaan kedua kalinya, Hages dinyatakan positif memiliki HIV. Sebelumnya, Hages sudah tidak menyusui anaknya agar tidak tertular. Sayang, lima bulan setelah suaminya dinyatakan HIV positif, suaminya depresi dan meninggal dunia. Berbeda dengan sang suami, Hages memutuskan untuk bangkit. Keinginan untuk hidup dan melihat masa depan anak menjadi motivasi terbesarnya. “Itu titik balik saya. Saya harus berjuang, bagaimana caranya saya ingin melihat masa depan anak saya. Ini masih panjang,” ujarnya optimis. Sementara itu, bayi baru lahir tidak bisa langsung dicek darah dan harus menunggu 18 bulan terlebih dahulu. “Setiap malam saya berdoa. Alhamdulillah Allah maha baik dan saat (usia anak) 18 bulan dicek lagi, Alhamdulillah hasilnya negatif sama non reaktif,” ujar Hages.

Resep Sehat Hages, Minum ARV Teratur

Hages tidak sendiri. Keluarga mendukung penuh perjuangannya. Namun menurutnya, perjuangan hidup harus datang dari dalam diri ODHA. Tanpa kemauan untuk “move on” sebanyak apa pun dukungan tak akan berpengaruh terhadap kualitas hidup. Dalam kondisi stres, sel kekebalan tubuh akan menurun. Dengan demikian, menjadi penting menjaga semangat hidup agar sel kekebalan tubuh tetap terjaga. Saat itu, Hages didiagnosis mengidap AIDS stadium 3. Kondisi ini membuat tak hanya satu penyakit yang bersarang. Untuk mengatasinya, Hages wajib mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) secara teratur.

“Saya minum sehari sekali on time setiap jam 10 dan obat akan bekerja 24 jam di dalam darah. Dengan minum obat, penyakit akan hilang dengan sendirinya. Misalnya (ada penyakit) jamur di mulut, diare akut, dan hepatitis C. Diare itu yang paling parah, sehari bisa sampai 20 kali, (harus) pakai pampers. Tapi (diare) bisa kambuh kalau minum obatnya enggak teratur” kata Huges.

ARV bekerja dengan mengontrol proses replikasi virus, menurunkan jumlah virus (viral load) dalam darah sampai tak terdeteksi. Selain itu, obat ini juga berfungsi untuk mengurangi risiko penularan, dan menghambat perburukan infeksi oportunistik. Setiap tahun, ODHA diwajibkan memeriksa kandungan jumlah virus. Hages berkata, biasanya enam bulan setelah penggunan ARV, virus sudah tak terdeteksi atau membahayakan. Pada kondisi ini, pasangan suami istri bisa berkesempatan memiliki keturunan. Syarat lainnya, jumlah sel kekebalan tubuh berada pada batas normal 410-1599.

“Kita boleh buka kondom pada masa subur. Tiga hari lepas kondom, kemudian dipakai lagi. Paling aman melalui proses caesar dan tidak menyusui. Sebetulnya boleh melahirkan normal dan menyusui tapi syarat dan ketentuannya banyak sekali,” kata Hages yang sudah memiliki suami lagi dan mendapat dua anak darinya. Tak ada perbedaan membesarkan anak bagi pengidap HIV/AIDS. Hages mengatakan, ODHA bebas mencium dan memeluk anak-anaknya. Hanya saja, pengidap ODHA harus peka dan tanggap bila memiliki luka. Mereka harus segera membersihkan dan menutupnya dengan perban.

 

Lawan HIV dengan bentuk Kuldesak (Kumpulan Dengan Segala Aksi Kemanusiaan)

Menyadari banyak pengidap HIV/AIDS yang tengah berjuang, Hages bersama delapan orang lainnya membentuk LSM Kuldesak (Kumpulan Dengan Segala Aksi Kemanusiaan) di Margonda, Depok, Jawa Barat. Mereka melakukan pendampingan dan kelompok belajar terhadap 700 ODHA di Depok. Terbanyak, ODHA yang ditemukan Kuldesak adalah ibu rumah tangga dan anak, juga Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL). Kini, hampir 40 orang anak dengan HIV-AIDS (ADHA) menjadi asuhan Kuldesak. Sebagian besar merupakan yatim, piatu, atau yatim piatu. “Anak terinfeksi dari ibu. Kebanyakan ibu tidak tahu. Mereka kerjanya hanya mengurus rumah, tiba-tiba terinfeksi karena perilaku suaminya di luar (rumah),” imbuh Huges.

Selama mengelola Kuldesak, menurutnya, tantangan terberat datang dari sesama ODHA. Banyak yang tak bisa menerima status baru. Mitos-mitos membuat ODHA rentan terhadap diskriminasi. “Apalagi yang tinggal di bukan daerah perkotaan, edukasi (tentang HIV/AIDS) masih kurang. ‘Mbak, saya tinggalnya di kampung. Nanti saya bisa diarak di kampung kalau orang kampung tahu saya HIV positif’. Jadi mereka pikir, HIV itu penyakit kutukan, kotor, mematikan, penularan bisa lewat bersentuhan,” jelasnya.

“Karena ketidaktahuan terjadi stigma dan diskriminasi itu sendiri. (HIV) Hanya bisa menular melalui tiga cairan tubuh: darah, cairan kelamin dan air susu ibu. Air liur bisa, tapi kata penelitian itu perlu 60 galon (air liur) untuk bisa menularkan (HIV). Kecuali ada luka terbuka,” tambahnya. Meski virus HIV/AIDS akan tetap ada di dalam tubuh, bukan berarti ODHA tidak dapat memiliki umur panjang dan hidup seperti orang sehat lainnya. Salah satunya dengan rutin mengonsumsi ARV.

(kompas)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *