HIV/AIDS & Hepatitis CHOT News

Hari AIDS Sedunia 2018 masih melawan Mitos

Angka-angka terdampak HIV/AIDS hingga kini belum bisa menggambarkan kenyataan. Istilah “puncak gunung es” masih berlaku untuk menggambarkannya. Diduga masih banyak kasus HIV/AIDS tak terlaporkan, sehingga menjadi tema Hari AIDS Sedunia ke-30 yang jatuh pada 1 Desember 2018.

Program bersama PBB untuk penanganan kasus HIV/AIDS (UNAIDS) mengestimasi kematian penderita AIDS di Indonesia sekitar 39.000 jiwa pada 2017 atau meningkat 69,6 persen dari 2010. Mayoritas adalah laki-laki berusia 15 tahun ke atas.

Mereka meninggal akibat penurunan sistem kekebalan tubuh (Acquired Immunie Deficiency Syndrome – AIDS) karena virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang dimulai sejak fase pertama hingga mutakhir, menurut organisasi kesehatan dunia WHO.

Saat kekebalan menurun drastis, tubuh akan rentan terserang penyakit yang kemudian menyebabkan kematian. Artinya, AIDS sebagai sindrom melemahnya kekebalan tubuh bukanlah penyebab langsung kematian penderitanya.

Pada umumnya, seseorang dikatakan sebagai pengidap HIV ketika ditemukan jejak virus tersebut dalam darahnya. Biasanya, ia akan menderita demam, radang tenggorokan, pembengkakan kelenjar getah bening, dan lainnya. Fase ini bisa bertahun-tahun dan tergantung dari kondisi tubuh seseorang.

Kemudian, pada fase laten, kekebalan tubuh makin berkurang dan disertai dengan berkurangnya sel darah putih. Di fase mutakhir, seseorang dikatakan mengalami sindrom AIDS dan kondisinya makin parah karena tubuhnya tak sanggup melawan penyakit mematikan seperti kanker, infeksi, dan beragam penyakit lain.

Masalah yang masih muncul hingga kini adalah “puncak gunung es” dari sebaran HIV/AIDS yang sebenarnya. Diduga masih banyak kasus HIV/AIDS yang tak terlaporkan. Karena itulah dipilih menjadi tema Hari AIDS Sedunia 2018.

Berbagai angka statistik yang tersedia, belum menggambarkan kenyataan. Tes HIV melalui darah yang hanya bisa dilakukan melalui uji laboratorium, masih dianggap “menakutkan”. Pada peringatan Hari AIDS Sedunia 2018, UNAIDS pun kembali mengkampanyekan tentang tes HIV, bertajuk “Knowledge is power”.

Dalam riset mereka pada 2017, sekitar 37 juta orang di dunia hidup dengan HIV–angka tertinggi dalam sejarah. Tetapi diduga seperempatnya tidak tahu bahwa virus tersebut bersarang di tubuhnya.

Catatan UNAIDS menyatakan Indonesia masih termasuk negara tertinggi kedua untuk kematian penderita AIDS dan berada di peringkat ketiga tertinggi untuk jumlah pengidap HIV di kawasan Asia Pasifik.

Angka estimasi ini dihitung dari analisis data populasi penduduk yang mengetahui status HIV mereka, mendapatkan penanganan, dan mereka yang mengonsumsi obat pencegah penyebaran virus.

Sejak tahun 2007 hingga 2017, data Kementerian Kesehatan yang diolah tim Lokadata Beritagar.id menunjukkan, jumlah pengidap HIV terus meningkat setiap tahun sementara jumlah AIDS relatif stabil. Pengidap virus HIV sebanyak 272.569 orang dan penderita AIDS sebanyak 93.556 orang.

Pada 2017, jumlah pengidap HIV meningkat delapan kali lipat menjadi 48.300 dibandingkan dengan satu dekade yang lalu, 6.048 orang. Penderita AIDS yang dilaporkan ke Kementerian Kesehatan sebanyak 9.280 pada 2017 atau meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan 10 tahun lalu.

 

Terbanyak di Papua

Papua menjadi provinsi dengan kasus HIV/AIDS tertinggi di Indonesia meskipun dalam tiga tahun terakhir jumlah penderita AIDS menurun.

Sejak 1987 hingga Desember 2017, 620 orang per 100.000 penduduk di provinsi tersebut menderita AIDS. Per Desember 2017, Kementerian Kesehatan mencatat sebanyak 19.729 orang menderita sindrom imun tersebut.

Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua, Constant Karma menjelaskan tingginya angka HIV-AIDS di Papua disebabkan miminmya kesadaran untuk memeriksakan diri.

“Ketika seseorang sudah masuk pada stadium AIDS maka akan susah untuk mengembalikan kondisi tubuh penderita ke kondisi prima,” kata Karma.

Studi dari Leslie Butt dari University of Victoria terhadap pengidap HIV dan penderita AIDS di Papua menunjukkan adanya ketakutan dari masyarakat saat akan memeriksakan diri. Bahkan, mereka yang memeriksakan diri cenderung malu dan takut jika terdeteksi mengidap HIV. Sehingga, mereka melarikan diri dan tidak meminta pertolongan penanganan penyakit tersebut.

Hal ini tak lepas dari mitos dan stigmatisasi terhadap HIV/AIDS, misalnya dianggap sebagai “penyakit kutukan Tuhan”, dapat menular lewat alat makan, penyakitnya kaum homoseksual dan pengguna narkoba, dan sebagainya.

Selain Papua, angka perbandingan kasus yang tinggi juga ditemukan di Papua Barat, sekitar 216 orang dari 100 ribu penduduknya menderita AIDS. Sementara di provinsi wisata Bali, 177 dari 100 ribu penduduknya menderita AIDS.

Di Pulau Jawa, DKI Jakarta menjadi provinsi nomor wahid untuk angka perbandingan kasus, yakni 76 penderita AIDS per 100 ribu penduduk.

Sementara itu, angka kematian akibat penyakit (AIDS) yang dilaporkan ke Kementerian Kesehatan pada 2017 meningkat 10,36 persen menjadi 948 orang dari 859 di tahun 2016. Mayoritas adalah orang usia produktif 30 hingga 39 tahun.

Provinsi dengan angka kematian tertinggi dalam 30 tahun terakhir yakni Provinsi Jawa Timur, sebanyak 4.010 jiwa, disusul Jawa Tengah 1.864 jiwa, DKI Jakarta 1.851 jiwa dan Papua 1.580 jiwa.

Ibu rumah tangga paling rentan

Dilihat dari latar belakang pekerjaan, ibu rumah tangga menjadi yang paling rentan terkena penyakit AIDS. Selama 30 tahun terakhir, jumlah ibu rumah tangga penderita AIDS adalah 14.721 orang, disusul oleh tenaga non-professional sebanyak 14.116 orang.

Ibu rumah tangga mudah tertular dari pasangannya. Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta Ikhlasiah Dalimoenthe dalam riset Perempuan dalam Cengkeraman HIV/AIDSmenjelaskan adanya perilaku laki-laki beristri yang berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seks, menyebabkan istrinya ikut terdampak.

“Pada beberapa kelompok masyarakat bahkan laki-laki muda didorong untuk mencari dan mengumpulkan pengalaman seksualnya dengan perempuan untuk memperoleh julukan sebagai lelaki jantan. Beberapa tradisi masyarakat seperti tradisi sifon di NTT dan turun ranjang di Sumatera Utara juga mempermudah terjadinya penularan penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS,” kata Ikhlasiah dalam riset tersebut.

Selain itu, Ikhlasiah menilai ada faktor minimnya akses informasi dan pendidikan perempuan yang lebih rendah terkait kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS. Mereka yang mudah tertular adalah perempuan atau ibu rumah tangga yang memiliki daya tawar lemah, tidak berpendidikan, dan secara sosial ekonomi tidak mandiri.

“Perempuan sulit melindungi dirinya dari infeksi HIV karena pasangan seksualnya enggan menggunakan kondom dan ia tidak memiliki keberanian untuk menolak hubungan seks yang berisiko,” Ikhlasiah merujuk pada laporan tersebut.

Untuk menekan penyebaran HIV/AIDS yang bisa berujung kematian dengan berkurangnya sistem kekebalan tubuh, Yeni Tasa dkk menyarankan perlunya sosialisasi Voluntary Counseling and Testing (VCT).

Dalam riset Yeni bertajuk Counseling and Testing oleh Ibu Rumah Tangga Terinfeksi HIV/AIDS, kesadaran untuk memeriksakan diri ini berhubungan dengan persepsi tentang penyakit HIV/AIDS. Jika sudah paham akan bahaya sindrom yang menyerang imun ini maka pengidap HIV dan penderita AIDS akan sadar untuk memeriksakan diri.

“Penyebaran informasi tentang VCT dapat dilakukan dengan melibatkan tenaga Puskesmas. Pelatihan untuk tenaga konselor dan dokter konseling dan testing perlu dilakukan secara rutin untuk meningkatkan kualitas pelayanan VCT,” kata Yeni dalam laporan riset tersebut.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *