Catatan

12 Tahun Mengidap HIV dan Buktikan Bisa Hidup Normal

Penyakit HIV-AIDS mungkin terlihat menyeramkan bagi sebagian besar orang. Namun tidak bagi Suksma Ratri, yang selama 12 tahun telah menjadi ODHA atau orang dengan HIV-AIDS.

HIV atau Human Immunodeficiency Virus merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus yang menyerang sel T yang tergabung dalam sistem imun tubuh. Sekali seseorang tertular virus HIV, maka virus tersebut akan seumur hidup ada dalam tubuhnya.

Menikah dengan seorang mantan pengguna napza suntik memang membuat Ratri, demikian ia kerap disapa, cukup aware akan risiko terkena HIV-AIDS. Sebelum menikah, ia pernah mengajak calon suaminya tersebut untuk tes HIV, namun ditolaknya dengan alasan ia sudah pernah dua kali tes dan hasilnya negatif.

“Dia dulu pakai jarum suntiknya bergantian. Jarum satu untuk rame-rame, untuk alasan ekonomis. Itu termasuk salah satu faktor penularan paling tinggi ya. Kebetulan saya nggak lama juga (bersama suami) karena satu dan lain hal, termasuk KDRT, akhirnya kami berpisah,” tutur Ratri, saat ditemui di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, baru-baru ini.

Dari pernikahannya dengan sang suami, ia dikaruniai seorang anak perempuan. Dan setahun kemudian setelah mereka berpisah, ia mendapat kabar bahwa sang suami sakit keras dan ternyata terbukti positif HIV lalu meminta Ratri dan anaknya untuk tes juga.

Hasilnya, Ratri positif HIV sementara anak perempuannya yang saat itu masih bayi negatif HIV. Ratri sangat bersyukur bahwa buah hatinya tidak ikut tertular, walau menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kemungkinan penularan dari ibu ke anak dalam kehamilan antara 15 hingga 45 persen.

“Shock sih nggak, karena pada saat itu mungkin inilah gunanya punya pengetahuan tentang HIV dasar. Jadi pada sat itu karena saya udah tahu dia punya faktor risiko yang cukup tinggi, saya nggak terlalu kaget. Saya malah mikir ‘tuh kan, kata gue juga’,” lanjutnya.

Shock sih nggak, karena pada saat itu mungkin inilah gunanya punya pengetahuan tentang HIV dasar. Jadi pada sat itu karena saya udah tahu dia punya faktor risiko yang cukup tinggi, saya nggak terlalu kaget. Saya malah mikir ‘tuh kan, kata gue juga’

Tak lama kemudian, mantan suami Ratri meninggal. Saat itu tahun 2006, Ratri yang menjadi seorang ibu tunggal dan ODHA harus berjuang menghidupi diri dan anaknya sekaligus menjaga kesehatan tubuhnya agar tak menjadi AIDS.

AIDS atau acquired immunodeficiency syndrome merupakan stadium akhir dari HIV yang memburuk. Karena seiring waktu, HIV dapat menghancurkan banyak sel T sehingga tubuh tak lagi mampu melawan infeksi dan penyakit yang disebut infeksi oportunistik, sehingga imun tubuh semakin melemah.

Sembari berjuang, Ratri juga sempat ragu soal cinta. Was-was takut ceroboh menularkan virusnya ke orang lain, ia akhirnya berpasangan dengan sesama ODHA, namun ia tidak menemukan kenyamanan seperti yang ia duga. Namun ia tetap ingin membuktikan bahwa ODHA juga bisa hidup normal dan memiliki kisah cinta yang normal pula.

Satu-satunya obat yang dapat meningkatkan kualitas hidup seorang ODHA dan menonaktifkan virus HIV adalah antiretroviral therapy. Ratri baru berkenalan dengan obat tersebut pada tahun 2014 dikarenakan ia mampu menjaga tubuhnya dengan baik sehingga jauh dari sakit-sakitan.

“Waktu jumlah viral load, jumlah virus HIV yang ada dalam 1 mm kubik darah saya itu pertama kali saya tes tahun 2014 sebelum mulai terapi ARV itu 1.950.000 virus. Tinggi banget karena untuk sampai fase undetected harus ada di bawah 50, kemudian saya mulai terapi ARV, kebetulan kombinasi ARV saya cocok, dalam waktu dua bulan turunnya drastis. Akhir 2016 saya sudah undetected,” terangnya.

Kini Ratri berusia 43 tahun dan mampu membuktikan bahwa ODHA bisa hidup secara normal seperti orang sehat pada umumnya. Kini ia bekerja di lembaga Belanda yang bergerak di pemberdayaan petani dan telah menikah dengan pria berkebangsaan Inggris.

Anak perempuan Ratri yang kini telah beranjak remaja juga sudah dibekali olehnya mengenai penyakit yang diidapnya. Ia menceritakan bahwa ia sempat ingin memberitahu anaknya di usia 10 tahun, namun ragu. Akhirnya sebelum ia sempat menceritakan, malah anaknya tidak sengaja mengetahuinya sendiri.

“Tahunya sekitar dia kelas 6 lah, sekitar 3 tahun yang lalu deh. Dia googling namaku, jadi sama temen-temen gitu ya ‘Googling ah nama ibu aku, ibu kamu’, keluarlah semua informasi itu. Terus akhirnya dia ngomong sama aku ‘Bunda kok nggak ngomong sama aku?’ Aku bilang takutnya nanti kamu nggak paham atau takut. Tapi dia ternyata dia bisa nerima. Untuk anak remaja dia cukup dewasa penerimaannya. Dia malah bilang ‘Kan lebih baik aku tahu Bun, kan bisa kasih tahu kalau ada orang yang tanya,” ujar Ratri.

Selama menjadi ODHA, ia juga kerap mendengar hoaks atau stigma yang merebak di masyarakat. Ia berharap baik ODHA maupun non-ODHA yang paham HIV-AIDS bisa membantu menjadi peer educator bagi lingkungannya sehingga tak lagi ada berita bohong atau kesan buruk bagi mereka yang mengidap HIV-AIDS.

Sumber : Frieda Isyana Putri – detikHealth

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *