Catatan

Cerita Bocah Penderita HIV yang dikucilkan

JK (12) dengan bahasa isyarat menanyakan kepada VC (24), kakak kandungnya, tentang makam yang mereka kunjungi pada Jumat (26/6/2015) pekan lalu. Kemudian, VC yang sehari-hari bekerja sebagai pengamen itu menjawab, makam yang dipenuhi taburan bunga tersebut adalah makam adik bungsu mereka, LJ (7), yang meninggal karena infeksi HIV pada Kamis (25/6/2015).

Keharuan langsung menyelimuti tempat pemakaman umum yang berada di wilayah Banyuwangi Barat tersebut. JK yang menderita gangguan pendengaran tersebut menangis sambil memeluk nisan adik kandungnya yang dimakamkan tepat di sebelah makam ibu dan ayah mereka.

Selama setahun terakhir, JK tinggal bersama dengan kakak tertuanya di Bali untuk melanjutkan sekolah di sebuah yayasan. “Sejak ibu dan bapak meninggal pada tahun 2012, saya mengasuh keempat adik kandung saya seorang diri,” kata VC kepada Kompas.com.

Keempat adiknya adalah JK (12), Y, TY (10), dan LJ (7). Penderitaan VC semakin bertambah ketika adik bungsunya divonis mengidap virus HIV karena tertular dari ayah dan ibunya yang meninggal terlebih dahulu karena penyakit yang sama.

Dia juga beberapa kali diusir dari lingkungan tempat tinggalnya ketika warga mengetahui adik bungsunya terkena HIV.

Lelaki yang berperawakan kecil tersebut bercerita, pada Februari 2012, ayah dan ibunya jatuh sakit secara bersamaan. Mereka lalu dibawa ke rumah sakit daerah di wilayah Banyuwangi Selatan.

Setelah menjalani pemeriksaan di klinik VCT (voluntary counseling test), bapak dan ibu itu dinyatakan positif mengidap HIV/AIDS. Setelah dirawat selama tiga hari di RS, akhirnya keduanya meninggal dunia pada hari yang sama, dan hanya berselang sekitar satu jam.

“Saat masuk, ibu sudah tidak sadarkan diri. Setelah dicek, ibu dan bapak ternyata positif. Ibu meninggal lebih dahulu, setelah satu jam, bapak kemudian menyusul meninggal dunia,” tutur VC.

Akhirnya, pihak RS pun meminta agar dia beserta adik-adiknya untuk melakukan test VCT demi mengetahui kondisi kesehatannya. “Saya shock sekali saat mengetahui jika LJ yang positif. Saat itu, dia baru berumur empat tahun. Akhirnya, saya berjanji bagaimana caranya adik saya bisa sembuh. Apa pun akan saya lakukan,” kata VC.

Karena tidak mampu mengasuh keempat adiknya dari hasil mengamen, dia pun rela melepaskan JK ikut kakak tertuanya di Bali, sementara Y diasuh oleh kerabatnya. “Ty dan LJ ikut saya ke mana saja. Biasanya, LJ saya gendong dipunggung dan Ty saya tuntun. Kami berpindah-pindah dari satu kos ke kosan yang lain. Kami benar-benar dikucilkan bukan hanya masyarakat, bahkan oleh keluarga terdekat kami, apalagi setelah tahu ibu dan ayah kami meninggal karena HIV, ditambah lagi adik saya juga menderita penyakit yang sama,” kata dia dengan suara parau.

VC mengaku sempat menumpang di rumah temannya di wilayah Banyuwangi Barat. Namun, tak lama di sana, dia disuruh pergi oleh masyarakat sekitar karena takut tertular. Kejadian yang sama juga ia alami saat dia pindah ke rumah temannya di wilayah Jember.

“Sehari-hari saya mengamen untuk bisa makan. Kalau tidak memungkinkan, biasanya saya meninggalkan Ty dan LJ di terminal. Setelah dapat uang, saya kembali ke mereka. Saya tidak tega meninggalkan mereka lama. Walaupun banyak yang bilang saya bajingan, saya masih punya hati karena yang saya lakukan untuk mereka,” ungkap VC.

Sementara itu, untuk perawatan LJ, VC mengaku selalu membawa adik bungsu yang lahir pada 1 Agustus 1998 tersebut ke rumah sakit secara rutin. Beberapa kali dia juga meninggalkan LJ untuk dirawat di ruangan anak jika kondisi LJ drop. Sementara itu, VC kembali ke jalanan untuk mengamen dan mengumpulkan uang.

“Kalau LJ dirawat, TY juga ikut menginap di sana. Kalau ada uang, saya pasti menyambangi mereka. ARV untuk adik saya juga rutin diurusi oleh pihak rumah sakit. Dia keluar masuk ruang perawatan anak sejak tahun 2012. Saya bingung. Saudara sama sekali tidak peduli,” kata dia.

Dirawat sebulan dan minta pulang

Sebelum meninggal, LJ sempat dirawat selama 28 hari di bangsal perawatan anak. Ty juga ikut menginap di rumah sakit daerah tersebut. “LJ dan kakaknya sudah menjadi bagian dari kami. Selama 28 hari dia dirawat di sini. Tapi, Selasa sore ia dibawa kakaknya pulang,” kata Agus Estu, Kepala Ruang Perawatan Anak, saat ditemui Kompas.com, satu hari sebelum LJ meninggal.

Saat itu, Kompas.com berusaha melacak keberadaan LJ dan beberapa kali mendatangi kos mereka. Namun, mereka telah berpindah-pindah bererapa kali.

Menurut Agus Estu, sejak LJ di nyatakan positif, pihak rumah sakit membantu sepenuhnya pengobatan dengan menggunakan dana BPJS Kesehatan. Sementara itu, biaya lain-lainnya merupakan hasil patungan para petugas di rumah sakit. “Untuk makannya, biasanya ditanggung sama bagian gizi. Bukan hanya untuk LJ, tapi juga kakaknya yang ikut tinggal di sini,” kata Agus.

Saat dirawat terakhir kali, beberapa kali LJ meminta untuk pulang. Pihak rumah sakit akhirnya menghubungi VC. “Setelah tanda tangan, akhirnya kami mengizinkan VC membawa LJ dan Ty untuk pulang. Saya tahu kalau mereka tidak punya rumah, tetapi mungkin mereka ingin bersama karena VC sempat cerita dapat tumpangan tempat tinggal temannya,” tutur Agus lagi.

Namun, sebelum dibawa pulang, pihak rumah sakit berpesan kepada VC untuk segera kembali membawa adiknya jika kondisinya drop. Saat dibawa pulang, berat badan LJ hanya 13,5 kilogram dari berat normal anak seusianya 24 kilogram.

“LJ merupakan anak yang ceria. Dia tidak pernah mengeluh, jarang menangis. Hanya saja, dia sering meminta disuapin saat makan oleh perawat. Saya melihat mereka kurang kasih sayang. Kami merawat dia sejak 2012, saat ayah dan ibunya meninggal karena HIV/AIDS. Mereka tidak ada yang merawat dan memperhatikan. Kakaknya VC itulah yang banting tulang untuk adik-adiknya. Bahkan, kami sering patungan untuk mengganti biaya VC membawa adiknya ke sini karena tinggal jauh dari rumah sakit,” ungkap Agus lagi.

Hal senada diungkapkan Hafiful Malik, petugas VCT rumah sakit tersebut. Lelaki yang akrab dipanggil Ipung tersebut mengaku, setelah mengetahui jika ayah dan ibu LJ positif HIV, dia meminta agar semua anak-anak mereka menjalani tes VCT.

“Kami tes mulai anak yang paling kecil dan ternyata hanya LJ yang dinyatakan positif dan kemungkinan besar tertular saat dia dilahirkan dari ibu yang postif HIV/AIDS,” kata Hafiful.

Sementara itu, setelah dibawa pulang pada Selasa (23/6/2015), VC kembali melarikan LJ ke rumah sakit pada Rabu (24/6/2015). Setelah dirawat selama semalam, LJ mengembuskan napas terakhirnya pada Kamis (26/6/2015).

“Saat pulang, adik saya minta dibawa ke Jember dan saya menurutinya. Di sana hanya beberapa jam, lalu langsung kembali ke rumah sakit karena kondisinya drop. Kamis pagi dia sempat meminta berkali-kali saya duduk di sampingnya lalu disuruh pergi. Suruh duduk, suruh pergi lagi. Kemudian, saya cium keningnya dan bilang, ‘Kalau mau pergi, Mas ikhlas. Ternyata dia pergi ketika saya sedang tidur,” kata VC dengan tatapan kosong.

VC mengaku tidak ingin ada anak-anak lain yang mendapat perlakuan seperti adiknya yang dikucilkan. “Saat adik saya masih hidup, semua menjauhi kami. Sekarang, saat dia sudah meninggal, semua mendekat dan mengaku peduli. Selama ini, adik saya diperlakukan tidak adil oleh orang-orang di sekitar kami,” kata dia.

Pasca-meninggalnya LJ, VC mengaku akan mencari pekerjaan tetap untuk membiayai adik-adiknya yang lain. “Saya akan meninggalkan dunia jalanan untuk mencari pekerjaan tetap. Selama ini, saya ngamen agar bisa bawa adik saya kerja dan tidak ada pilihan lain,” kata dia.

Saat ini, VC tinggal di sebuah puskesmas karena menemani Ty yang sakit dan harus dirawat inap. “Ty mungkin kelelahan karena selama ini tinggal di rumah sakit menemani LJ. Dia juga sedih dan shock karena adiknya meninggal. Sekarang Ty diinfus. Semoga dia cepat sembuh dan segera keluar dari puskesmas biar saya bisa menata hidup lagi. JK juga nginap di sini (puskesmas) sampai Ty keluar,” kata dia.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi, hingga Januari 2015, terdapat 69 anak positif HIV yang tinggal di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Sebagian besar dari mereka berstatus yatim atau yatim piatu dari orangtua yang juga meninggal karena HIV/AIDS.

“Usia penderita rata-rata berusia 2-10 tahun dan yang paling tua berusia 11 tahun. Salah satunya adalah LJ. Kami sempat menggalang dana untuk dia,” kata Tunggul Harwanto, Program Manager Kelompok Kerja Bina Sehat, yang selama ini menaruh perhatian kepada penanganan kasus HIV/AIDS di Kabupaten Banyuwangi.

Menurut dia, dengan adanya kasus LJ, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi perlu membuat rumah singgah untuk anak penderita HIV ataupun penderita HIV/AIDS serta keluarganya. Sebab, stigma masyarakat dan diskriminasi yang menganggap bahwa HIV/AIDS adalah penyakit kutukan membuat penderita dan keluarga dikucilkan. Hal itu bisa memperparah keadaan pasien.

Selain itu, sosialisasi tentang pemahaman tentang penularan HIV/AIDS juga harus ditingkatkan, khususnya untuk kalangan ibu rumah tangga. “Saat ini, ibu rumah tangga salah satu kelompok masyarakat yang rentan tertular HIV/AIDS. Seharusnya ibu hamil juga mendapatkan pelayanan tes VCT untuk mengetahui kondisi kesehatannya. Jika positif HIV, maka bisa dicegah agar tidak menular pada anak yang dilahirkan. Jadi, walaupun ibunya positif, masih bisa melahirkan anak yang sehat, tentu dengan pengawasan dari dokter serta penanganan khusus saat melahirkan bayi,” ungkap Tunggul.

Tunggul juga menegaskan, program penanggulangan HIV/AIDS bukan hanya tugas Kementerian Kesehatan, melainkan juga seluruh komponen pemerintahan dan masyarakat. “Jika LJ tinggal di rumah singgah dan mendapat pemantauan kesehatan secara maksimal, perawatan yang memadai, dan didukung oleh keluarga dan masyarakat, mungkin dia masih bisa bertahan. Kita tahulah bagaimana kehidupan di jalan, apalagi ikut bersama kakaknya mengamen. Di sini seharusnya pemerintah bertanggung jawab, termasuk juga kepada ODHA (orang dengan HIV/AIDS) anak seperti LJ,” ujarnya.

(IRA RACHMAWATI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *