DAKU, Modul Kesehatan Berbasis Teknologi
Kalau hari gini masih berpikir seks adalah hal yang tabu, berarti Anda ketinggalan jaman. Seks itu adalah pengetahun, ada baiknya sejak dini dipelajari agar kita bisa membentengi diri. Dan masa remaja yang indah tidak pernah hilang karena nafsu sesaat.
”Dulu kalau ngomongin masalah seks saya ngumpet-ngumpet, takut ketahuan ibu. Setelah belajar DAKU, jujur saya lebih terbuka. Kalau mau tanya-tanya juga ngga malu lagi,” ujar Rani, salah satu siswa SMAN 67, Jakarta Timur. Rani mungkin salah satu diantara banyak siswa yang belajar Modul Dunia RemAjaKu SerU (DAKU). Modul ini bertujuan menjadikan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi lebih nyata dan menarik bagi siswa. Hasil yang ingin dituju adalah memberikan siswa rasa percaya diri dan dapat mengendalikan kehidupan mereka sendiri, caranya dengan memberikan dukungan dengan informasi yang lengkap.
DAKU adalah modul pelatihan berbasis teknologi yang membahas kesehatan seksual dan reproduksi, pencegahan AIDS sekaligus ketrampilan komputer kreatif untuk siswa dan guru. Modul ini ditujukan untuk siswa sekolah lanjutan, berusia 12-19 tahun, yang dapat diterapkan oleh sekolah yang memiliki fasilitas komputer.
Sebenarnya modul ini tidak diwajibkan untuk siswa, hanya mereka yang punya waktu luang di luar jam sekolah dan bersedia mengikuti program ini sampai selesai. Pemilihan siswa diserahkan kepada pihak sekolah atau fasilitator (dalam hal ini guru yang telah mengikuti tranning), idealnya program ini diikuti oleh 25-30 siswa tiap sekolah. Memang untuk mempelajari modul ini diperlukan waktu yang tidak sedikit, yaitu satu semester bahkan lebih. Mengapa waktunya panjang? Karena modul DAKU terdiri dari 14 pokok pembahasan yang terdiri dari target pembelajaran, tugas, presentasi, permainan, panduan dan cerita-cerita. Untuk strategi pelaksanaan dikembalikan kepada fasilitator yang bersangkutan, agar murid tetap semangat hingga akhir program.
DAKU dapat dicoba diberbagai jenis sekolah, apakah itu Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMA) baik negeri maupun swasta, atau Sekolah Kejuruan (SMK). Proses uji coba telah dilakukan pada tahun 2005 di tiga sekolah di Jakarta yaitu SMAN 100, SMA Angkasa 2 dan SMKN 27. Namun tidak semua sekolah dapat dengan mudah mengikuti program DAKU, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi karena DAKU berbasis teknologi dan komputer. Yang pertama, sekolah tersebut memiliki komputer dalam jumlah yang banyak dan dapat membaca program DAKU. Kedua, siswa mempunyai waktu luang sekitar dua jam dalam seminggu. Ketiga, pentingnya peran fasilitator (guru atau penanggungjawab sekolah) dalam kelancaran program.
Sebelum fasilitator terjun ke lapangan, terlebih dahulu mereka dilibatkan dalam serangkaian pelatihan seperti; keterampilan komputer, pelatihan kesehatan produksi, pelatihan ketrampilan fasilitasi dan modul DAKU. Dengan modul DAKU, guru dan siswa sama-sama belajar, dan arus mengajar menjadi dua arah. Guru pun akhirnya familiar dengan komputer.
Adaptasi dari Uganda
Setelah uji coba di tiga sekolah, tahun 2006 tiga sekolah lain mulai mengimplementasikan program DAKU, yaitu SMAN 67, SMAK 7 Penabur dan SMKN 32. DAKU juga mulai diperkenalkan dibeberapa propinsi seperti Jambi, Lampung, Sumatera Utara dan Bali. Di tahun 2007 ada enam sekolah lagi di Jakarta yang mengikuti program DAKU yaitu SMA Muhammadiyah 19, SMAN 53, SMK Jaya Wisata Menteng, SMAN 7, SMK Walisongo dan SMAN 105.
Awalnya program DAKU dikenal di negara Uganda, Afrika, dengan nama The World Start With Me, lalu diadaptasi ke beberapa negara seperti Thailand, Vietnam, Kenya, Afrika Selatan, Mongolia, Cina, Pakistan, serta Indonesia.Karena modul DAKU banyak dipakai di beberapa negara, maka yang menjadi pertanyaan sejauh apa DAKU dapat membantu para siswa di dalam pergaulannya. Bagi Sari yang telah tujuh tahun terlibat di dunia remaja, dengan DAKU siswa diajak untuk sering berdiskusi. Aspek sikap, keterampilan dan pengetahuan adalah tujuan pembelajaran modul ini.
Ternyata anak yang pasif dapat menjadi aktif, dan yang aktif tidak mendominasi temannya. ”Di sini anak benar-benar membentengi diri, how to say no dan bagaimana bernegosiasi dengan pasangan. Semua itu membuka wacana bagi mereka. Sangat jelas mereka membutuhkan informasi kesehatan seksual dan reproduksi, dengan cara-cara seperti ini mereka punya akses untuk tahu. Dan hal ini membuat guru berfikir bahwa remaja memang harus diberikan haknya,” ungkap Sari dengan antusias.
Banyak persyaratan
Sejak tahun 1989 YPI telah melakukan hubungan baik dengan berbagai sekolah di Jakarta. Beberapa program yang terkait dengan remaja telah dilaksanakan dalam kurun waktu 16 tahun, hingga diperkenalkannya DAKU. Hubungan lama yang telah terjalin antara YPI dan sekolah-sekolah tersebut disambung kembali dengan program DAKU.
Sebelum melanjutkan hubungan, YPI akan melihat kesiapan fasilitas sekolah, audensi ke sekolah tersebut, dan yang terpenting ada MOU (surat kesepakatan) karena YPI tidak ingin program DAKU terputus di tengah jalan. Selain itu juga ada kriteria untuk fasilitator, agar sekolah jangan sampai salah pilih. Fasilitator haruslah yang open minded terhadap dunia remaja, punya waktu luang, tidak tabu dengan masalah seks, kondom dan sebagainya karena semua itu akan dipelajari dalam DAKU.
Dimasukkan dalam mata pelajaran
Kalau siswa telah mempelajari DAKU, mungkin mereka baru mengetahui betapa bemanfaatnya modul tersebut. Hal ini diakui oleh Saud Marpaung, guru Olah Raga SMAN 67 Halim, Jakarta Timur, modul ini sangat menarik karena menggunakan teknologi komputer jadi lebih banyak ragamnya. Di awal pelaksanaan memang ada kesulitan, karena harus mengadaptasi tentang kesehatan reproduksi dan segala masalah remaja. Sedikitnya waktu pelaksanaan program memang menjadi kendala. ”Satu semester sangat singkat, belum lagi jumlah komputer yang terbatas di tiap sekolah. Saya melihat DAKU adalah kebutuhan anak muda. Jika ini dimasukkan menjadi salah satu mata pelajaran, mereka jadi memiliki pengetahuan yang baik tentang seks,” ujarnya.