Catatan

Derita Istri Pecandu Shabu

Panggil saja aku dengan nama Widya. Aku adalah istri dari seorang pecandu shabu-shabu. Usia perkawinan kami sudah memasuki belasan tahun. Aku dan suamiku Erik (sebut saja demikian-pen) menikah saat Aceh masih dihujani konflik antara GAM dan Jakarta. Dari hasil pernikahan itu kini kami sudah dikaruniai empat orang anak. Yang paling tua (sulung) sudah kelas V SD.

Saat awal menikah, suamiku adalah orang baik-baik. Dia lelaki yang bertanggung jawab. Dia adalah suami yang perhatian kepadaku sebagai istrinya. Buktinya, segala permintaanku selalu dipenuhinya.

Walau saat baru memulai rumah tangga hidup kami sempat morat-marit. Akan tetapi pelan-pelan Allah menitipkan kekayaannya kepada kami. Hingga kemudian hidup kami berkecukupan.

Kami sudah punya usaha sendiri. Suamiku menjadi toke minyak dan setelah Aceh damai dia beralih sebagai toke kayu. Keluarga kami cukup makmur. Puluhan orang silih berganti datang kerumah. Ada yang minta pinjaman uang, mencari kerja dan lainnya.

Akan tetapi bahagian itu tidak begitu lama kurasakan. Seiring dengan perjalanan waktu suamiku mulai berubah. Dia mulai kasar kepadaku. Dia mulai memaki-makiku dengan kata-kata kasar.

Penderitaan yang mulai penuh itu, kurasakan saat mengandung anak pertama. Suamiku sudah ketagihan shabu-shabu. Akibatnya dia diserang paranoid dengan tanpa alasan. Dia sangat mencurigai diriku. Akibatnya, dia sering bersembunyi dibelakang rumah, hanya karena dia beranggapan aku berselingkuh dengan lelaki lain.

Mobil truck yang kami miliki pun raib bak tertelan bumi. Dia mengaku terjerat hutang hingga harus menjual “modal” kami satu-satunya itu. Hingga saat ini aku tidak tahu hutang itu untuk apa dan dia berhutang untuk siapa. Yang jelas dia tidak pernah membawa hutang-hutangnya itu kerumah.

Bahkan, usaha perkayuan yang sempat membuat orang lain iri, juga hilang tak berbekas. Berpuluh ton kayu tak pernah pulang kerumah dalam bentuk uang.

Dalam kondisi bangkrut, tingkahnya semakin menjadi-jadi. Dia kehabisan uang. Dia kehilangan teman. Orang-orang yang dulu selalu berada disekelilingnya, kini menjauh. Bahkan berbalik memaki dirinya dengan sebutan lelaki tolol dan tidak tahu berterima kasih.

Tak tahan dengan segala beban derita itu, kemudian aku mengadukan semua derita hati kepada mertuaku. Beliau kemudian mulai membantu. Baik secara moral maupun material. Keluarga suamiku sering berkunjung hanya sekedar untuk memberikan uang belanja.

Aku terus berdoa kepada Allah agar Dia menunjukkan jalan keluar. Hingga suatu hari suami “taubat”. Itu persis saat aku mulai mengandung anak ketiga. Dia mulai dekat dengan mesjid. Shalat yang teratur. Taubatnya suamiku tentu di cemooh oleh tetangga. Mereka mengatakan, itu hanya sementara. Kalau dasar pemakai shabu-shabu, takkan pernah sembuh.

Aku abaikan semua cemoohan itu. Kepada suamiku aku selalu bilang bahwa hinaan tetangga adalah cambuk agar kita menjadi semakin kuat.

Kiranya rasa bahagia itu hanya kurasakan satu tahun. Kemudian kebiasaan itu kembali lagi. Setahuku dia kembali menghisap sabu karena ada sebagian kenalannya yang “alim” mengatakan bahwa shabu tidak haram.

Pembaca sekalian. Inilah maha petaka. Suamiku percaya. Bahkan dia sudah berani mendebat adik lelakinya yang kukenal lebih paham agama daripada suamiku. Bahkan adiknya itu malah semakin tidak dia sukai. Berkali-kali kepadaku dia memaki adiknya dengan kalimat “Anak kecil itu sok suci. Tahu apa dia soal agama. Benci aku melihat dirinya,”

Sejatinya, dalam kondisi “mabuk”, dia tetap bekerja keras. Bila saat “sadar” dia selalu punya cita-cita ingin membahagiakan aku dan anak-anak. Dia pontang-panting bekerja siang malam dengan sepeda motornya melintasi berbagai kabupaten.

Namun ketika sudah punya uang, selalu saja ada kebutuhan “lain” yang harus dia penuhi. Akibatnya simpanan uang kami selalu habis untuk kebtuhan yang tidak jelas. Dia selalu beralasan untuk tambah modal.

Bila aku menanyakan dengan lebih detail. Dia akan marah-marah. Bahkan tak segan memakiku dengan kalimat yang tidak pantas. Sakit sekali hatiku.

Pembaca sekalian. Aku selalu mencoba memaafkan dirinya. Tetapi semakin hari semakin menjadi-jadi tingkah lakunya. Aku semakin sakit hati. Bukan soal uang belanja yang tidak cukup. Bukan soal terkadang anakkku tidak sekolah karena tak punya ongkos. Bukan itu.

Sudah beberapa waktu yang lalu hingga hari ini, dia memakai narkoba di dalam rumah. Tepatnya di ruang tamu. Terkadang dia menghisap shabu dengan teman-temannya yang tidak kukenal. Terkadang pula dengan adik lelakiku.

Anak-anak kamu tentu melihat perbuatan mereka. Bahkan anak perempuanku sudah sangat mengenal bong, pipet, korek api dan asap shabu. Sering pula mulut polosnya mengatakan bahwa ayahnya pemakai shabu. Ucapan ceplos itu sering dia sampaikan bila adik lelaki suamiku berkunjung.

Aku semakin bertambah hancur. Karena beberapa bulan yang lalu suamiku menelpon adiknya meminta hutang. Dia beralasan butuh tambahan modal. Adiknya itu mengaku tidak punya uang. Akan tetapi suamiku memaksa.

Akhirnya adiknya itu meminjam uang temannya. Mereka buat perjanjian bahwa pada 28 Ramadhan 2014 uang itu akan dibayar.

Akan tetapi sampai sekarang uang tersebut tidak pernah dibayar oleh suamiku. Berkali-kali adiknya itu menelpon, mengirim sms bahkan datang kerumah. Namun suamiku selalu berkelit.

Aku salut. Sampai detik ini adiknya itu masih menagih hutang dengan nada yang sopan. Bahkan dia tidak memaki abangnya sama sekali. Dia hanya minta bantuanku agar aku mampu merayu suamiku. Saat seperti itu, rasa malu memenuhi rongga dadaku.

Adik suamiku mengaku bahwa dia sudah pula dimaki oleh yang memberinya hutang. Rasa maluku semakin bertambah. Sungguh dia adik yang baik sekaligus adik yang malang.

Aku sudah tidak tahu ingin mengadu kemana. Suamiku semakin mirip musuhku. Tidak ada lagi rasa tenang dihati ini. Anak-anakku terus tumbuh besar ditengah keluarga kami yang berantakan. Anak perempuanku berpihak pada ayahnya. Anak lelakiku berpihak padaku. Sedangkan yang dua lagi masih kecil untuk memahami kondisi kami.

Rumah kami sudah seperti neraka. Aku lebih banyak menangis daripada tersenyum. Ingin rasanya aku pergi darinya. Namun rasa cintaku padanya masih tersisa. Aku juga tidak ingin anak-anak tercerai berai.

Oh iya. Karena kondisi suamiku yang terus menerus teler, sampai sekarang kami masih numpang dirumah orang tuaku. Kami hidup berhimpi-himpitan dengan saudara-saudaraku yang lain.

Aku hanya berharap suatu saat akan ada anugerah dari Ilahi. Sebagai wanita sekaligus istri aku ingin bahagia seperti perempuan lainnya yang punya suami bertanggung jawab. (jambomuhajir)

: Lindungi Perempuan danAnak dari HIV AIDS. Jauhi Virusnya bukan orangnya ……..

“Tahun 2012 ini mbak, Ibu rumah tangga berada di posisi kedua penderita HIV AIDS. Angkanya adalah 270 orang. Satu level di bawah wiraswasta yang berjumlah 289 orang. Lebih banyak ibu rumah tangga yang terkena HIV AIDS dari pada pekerja seks komersil. Dan ini terjadi di Banyuwangi”
Saya menutup mulut. Tunggul Harwanto pengelola program PMTS, Pencegahan HIV AIDS Melalui Transmisi Seksual Kabupaten Banyuwangi terus menjelaskan data yang berada di hadapannya.

“Ini nyatakan Mas”

Dia mengangguk perlahan,

“Awalnya ibu rumah tangga adalah resiko rendah mbak. Tapi sekarang sudah masuk dalam resiko tinggi. Mereka tertular dari lingkungan keluarganya sendiri, salah satunya adalah seks tidak sehat yang dilakukan suaminya di luar dari lingkungan keluarga”

Saya diam sambil meneruskan catatan saya yang harus segera saya selesaikan. Iklan layanan masyarakat tentang bahaya HIV AIDS untuk radio tempat saya bekerja. Ini bukan main-main. Masyarakat harus tahu kenyataan yang ada. Ibu rumah tangga nome rdua….. ODHA…….? Saya menghela nafas. Perempuan…….

Saya membuka-buka data skema yang diberikan Mas Tunggul. Tahun 1999. Kasus HIV AIDS pertama kali di temukan di Kabupaten Banyuwangi dengan 1 kasus. Tahun 2000 menjadi 4 kasus. Secara berurutan lalu 9, 10, 12, 22 …… mata saya terus menelusuri angka-angka itu. Dan akhirnya September 2012 kasus HIV menembus angka 239 kasus, sedangkan kasus HIV AIDS 100 orang dan puncaknya adalah tahun 2009 sebanyak 108 kasus dan kematian pada September sebanyak 36 orang. Sampai tahun 2012 jumlah penderita HIV AIDS menembus angka 1292 orang !!!!! Dan Banyuwangi mendapatkan “penghargaan” peringkat ketiga terbanyak penderita HIV AIDS setelah Surabaya dan Malang. Ironis, padahal Kabupaten Banyuwangi telah mensahkan Perda HIV AIDS sejak beberapa tahun yang lalu.

Bagaimana bentuk perdanya? Entahlah saya tidak peduli lagi dengan perda. Karena akhirnya saya berpikir perda tidak menjadi jalan utama untuk menyelesaikan kasus HIV AIDS khusunya di Banyuwangi.

“Pelaporan kasus HIV AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif mbak …. yang artinya adalah kasus lama di tambah dengan kasus baru. Sehingga angka laporan tidak akan mungkin turun atau berkurang. Walaupun Perda HIV AIDS sudah disahkan, kasus yang terdeteksi tidak menggambarkan kasus HIV AIDS yang sebenarnya di masyarakat. Epidemi HIV AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanyalah bagian gunung es yang mencuat ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi merupakan bagian bongkahan es di bawah permukaan air laut yang melebar”

Saya mendengarkan kembali hasil rekaman wawancara saya.

“Penyebaran HIV AIDS di Kabupaten Banyuwangi sudah cukup mengkhawatirkan mbak. Dari 24 kecamatan semuanya memiliki daftar penderita HIV AIDS mbak. Terbanyak berada di kecamatan Banyuwangi dan Kecamatan Singonjuruh dan didominasi oleh kaum perempuan. Kalau angkanya adalah 639 orang atau 49,45 persen. Kalau pria berjumlah 557 jiwa atau 44,66persen. Nah yang terakhir waria hanya 22 orang atau 1,70 persen. Sedangkan transmisi penularan HIV terbesar melalui seksual 77 persen, melalui darah 13 persen, dan dari ibu ke anak melalui ASI adalah 2 persen”

Saya meneguk kopi sambil memberikan jeda pada otaksaya. Perempuan lagi. Saya mengerutkan dahi. Ibu rumah tangga, saat penularan pada anak sudah menjadi sebuah pertimbangan penyebaran HIV AIDS …..

Seharusnya perempuan mempunyai hak untuk mendapatkan akses informasi terkait kesehatan reproduksi dan juga informasi terkait HIV AIDS. Mereka sebagian besar tertular dari suaminya yang “jajan” diluar, dan menularkan kepada keluarganya. Tahun 2009, jumlah pembeli seks diperkirakan 3,2 juta di seluruh Indonesia, dan secara tidak langsung laki-laki pembeli seks menempati peringkat teratas sebagai kelompok yang menularkan HIV AIDS kepada ibu rumah tangga. Laki-laki hidung belang yang tertular, akan menjadi mata rantai utama penyebaran HIV di masyarakat, terutama hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar pernikahan.

“Ini hanya sekedar angkaRaa….”, saya menggerutu sendiri.

Kembali lagi mendengarkan wawancara kedua dengan Hariaji Direktur Kelompok Kerja Bina Sehat.

“ Perda HIV AIDS masih belum maksimal untuk menekan angka penderita HIV AIDS, bukan hanya di kalangan Ibu rumah tangga tapi secara umum mbak. Perda HIV AIDS berusaha melindungi masyarakat umum dari penyebaran HIV AIDS, dengan melakukan beberapa pengaturan seperti penataan kasus di RS, pengaturan lokalisasi dan pengaturan penggunaan kondom. Memang mbak harus diakui perlu ada revisi kegiatan-kegiatan yang langsung bisa diakses masyarakat umum terutama ibu rumah tangga”

Saya tertawa dalam hati mendengarkannya. Di akses masyarakat umum? Ibu rumah tangga? La wong saya saja yang berprofesi seperti ini susahnya minta ampun untuk mencari perda HIV AIDS di Kabupaten Banyuwangi.

“Tapi kami sudah melakukan sosialisasi menjelang hari AIDS 1 desember ke seleuruh kecamatan dan menggandeng stake holder terutama yang berkaitan dengan organisasi perempuan seperti PKK, Fatayat, Aisyah untuk mensosialisasikantentang HIV AIDS”

Saya sepakat. Tapi lebih sepakat jika tidak harus menunggu moment 1 Desember. Bukankah bisa dilakukan sebagai salah satu program yang dilakukansecara continue?

Akhirnya saya mengatakan PR besar bagi Kabupaten Banyuwangi adalah memberikan pencerahan baik lewat kegiatan di desa-desa, di pengajian RT RW, maupun kegiatan lain yang menyentuh masyarakat banyak. Sosialisasi tidak hanya berkutat di sekolah-sekolah atau di lokalisasi-lokalisasi. Masyarakat umum berhak di beri pemahaman terkait dampak penyebaran penyakit mematikan tersebut. Selain itu masyarakat juga diberi penjelasan bahwa tidak semua penderita HIV AIDS adalah orang yang secara sosial berkelakuan buruk. Salah kaprah HIV AIDS yang melegenda. HIV AIDS bukan sebuah kutukan. Sebab tidak semua penderita HIV AIDS adalah mereka yang menggunakan obat-obatan terlarang atau mereka yang melakukan seks bebas. Karena bisa saja mereka tertular karena kesalahan penggunaan jarum suntik, hubungan perkawinan tanpa mengetahui latar belakang pasangan.

Saya menyelesaikan catatan ini dengan sebuah pertanyaan besar yang membuat saya menundukkan kepala dalam-dalam. “Apa yang telah kamu lakukan untuk mereka Raa? Kenapa kamu hanya diam?”

Saya hanya bisa menulis …….memainkan mouse dan membuka adobe audition. Merekamnya. Edit. Finish. Memasukkan nya dalam sebuah file iklan layanan masyarakat. Dan mengirimkan pesan kepada para penyiar.

“All crew. Mulai besok tolong putar Iklan Layanan Masyarakat HIV AIDS setiap jam sesuai dengan dengan menit yang ada di jadwal”

(duniaira)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *