Kisah Aktivis Penanggulangan HIV/AIDS di Batam
Ada 500 penderita HIV baru setiap tahun di Batam. Label buruk dan perlakuan diskriminatif yang diberikan pada mereka, membuat hidup penderita makin sulit. Sekelompok pegiat membantu mereka menghadapi perubahan hidup.
Sebuah ruangan bercat putih dipenuhi sejumlah perabot. Sebuah meja bundar dengan 10 kursi lipat berada di tengahnya. Di sisi kiri pintu masuk, dua buah kardus besar berisi puluhan botol minum diletakkan berdampingan dengan tiga kursi roda.
Di sisi yang berhadapan, berdiri rak berisi buku-buku tentang HIV / AIDS. Sementara di dinding yang berhadapan dengan pintu masuk, sebuah papan tulis putih ditempeli dengan 14 lembar kertas berwana hijau dan kuning berisi pesan-pesan dari sang penulis.
Salah satu kertas bertuliskan:
Pesan: “Hidup saya lebih indah dan enak setelah saya mengenal HIV dan AIDS dan tidak takut bergaul sama orang.”
Kesan: “Hidupkan KDS dan majukan terus. KDS Kesper ayo bangkit.”
Fatma
Kertas lain bertuliskan:
“Tetap semangat menghadapi hidup dan jangan selalu selalu selalu pikiran jelek. Menjaga hidup lebih hidup dan menjaga kesehatan.”
(Gambar perempuan sedang tersenyum)
Nurhayati
Sementara itu seseorang bernama Lia menuliskan:
“Pesan saya setelah ikuti KDS kalau kumpul agak lebih kompak terus dan selalu kebersamaan n kekeluargaan. Kesan saya setelah sering hadiri perkumpulan KDS ini hati saya tenang dan tidak merasa takut dalam bergaul. Tingkatkan n lebih maju lagi KDS Kasper. Hidup terus…”
Tiga pesan itu hanya sebagian dari ungkapan perasaan para terinfeksi Human Immuno Deviciency Virus (HIV) yang dapat menyebabkan terinfeksi terjangkit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan karena hilangnya kekebalan tubuh, sistem kekebalan tubuh yang berfungsi melawan kuman atau virus yang masuk ke dalam tubuh.
Ruangan yang terletak di Kasper HIV Centre, Rumah Sakit Budi Kemuliaan Batam, itu merupakan tempat dimana sekali dalam satu bulan diadakan pertemuan antar Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Selain mereka, seringkali Orang yang hidup dengan ODHA (OHIDHA) juga turut hadir dalam pertemuan itu. Seorang petugas di klinik Kasper mengatakan, pertemuan biasanya berlangsung antara tanggal 10-15 setiap bulannya.
“Hanya untuk saat ini belum ada jadwal pertemun pada tanggal itu,” kata petugas tersebut.
Kasper pada awalnya merupakan klinik VCT (voluntary, counseling, and testing) yang melayani penyuluhan dan tes HIV. Dipimpin oleh dokter Francisca L Tanzil, klinik ini melakukan pemeriksaan terhadap warga yang datang secara sukarela, umumnya setelah Kasper melakukan penyuluhan dan konseling.
Mereka yang datang kebanyakan merupakan orang-orang yang termasuk dalam golongan berisiko tinggi terinfeksi HIV dan AIDS. Mereka yang positif kemudian disarankan untuk segera mendapatkan pengobatan dan mendapatkan akses kepada Anti Retroviral (ARV), obat yang berfungsi menekan virus HIV menggandakan dirinya.
Namun, ternyata dukungan pengobatan saja tidak cukup. Butuh dukungan yang lebih menyeluruh karena para penderita HIV dan AIDS tidak bisa lepas dari diskriminasi dan stigma yang melekat tentang penyakit tersebut. Virus ini memang menyebar malalui gaya hidup yang tidak sehat. Kehidupan seksual yang kerap gonta ganti pasangan dan dilakukan tanpa menggunakan kondom dan tukar menukar jarum suntik antar-pengguna narkoba jadi medium utama penularan virus HIV.
Hal tersebut membuat orang yang ketahuan terinfeksi HIV menutup diri pada keluarga dan kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya, masih banyak keluarga yang merasa malu karena ada anggota keluarganya yang mengidap virus tersebut. Apalagi, pandangan bahwa orang yang sudah terinfeksi HIV tidak akan hidup lama membuat para penderita dianggap kena kutuk.
Keadaan itu yang kemudian mendorong terbentuknya Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). “KDS merupakan salah satu bagian dari program perawatan terhadap para penderita HIV/ AIDS sehingga mereka mendapat kekuatan sekaligus memberi pengertian pada keluarganya untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap penderita,” kata Kepala Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Batam Pieter Pureklolong.
Dokter Francisca L Tanzil mengungkapkan, KDS Kasper saat ini telah melayani lebih dari 500 ODHA di Batam. “Kami merupakan KDS yang pertama terbentuk di Batam,” ujar Francisca, Kamis pekan lalu. Setiap bulan, dalam pertemuan ada sekitar 20-30 ODHA yang hadir di Ruang Informasi Klinik Kasper, di Paviliun Anyelir RSBK. Sering pula OHIDHA yang merupakan keluarga para ODHA hadir dalam pertemuan itu.
Dalam pertemuan, petugas Kasper memberikan konseling kepada ODHA dan OHIDHA mengenai kondisi mereka. Di samping konsultasi dan mendapat layanan kesehatan, mereka juga mendapat kesempatan belajar membuat prakarya yang dapat dijual untuk membiayai aktivitas mereka.
Meski merupakan KDS pertama di Batam, eksistensi Kasper pada tahun-tahun pertama tidak konsisten. “Kegiatannya sering hilang timbul,” kata Francisca.
Kondisi ini membuat ODHA kesulitan mendapat tempat untuk bertemu rekan senasib. Mereka perlu bertemu sesama ODHA untuk menguatkan dan saling menginspirasi. Melihat hal tersebut, muncul beberapa KDS yang memfasilitasi pertemuan dan kegiatan para ODHA. KDS tersebut dibentuk oleh sejumlah yayasan yang berkecimpung dalam aktivitas penanggulangan HIV/AIDS.
Di antaranya adalah KDS Angel Heart yang dibentuk oleh Yayasan Lintas Nusa, KDS Cahaya yang dibentuk oleh Yayasan Embun Pelangi, dan KDS Gaya Partner yang merupakan bagian dari Yayasan Gaya Batam.
“Para ODHA kadang melihat KDS yang akan mereka masuki. Ada yang merasa sama jika berada dengan rekan-rekan yang segolongan, misalnya sesama waria atau gay,” kata Francisca.
Koordinator KDS Angel Heart Batam, Ana Budiani, mengungkapkan keberadaan KDS dapat membantu mengembalikan kepercayaan diri ODHA untuk kembali ke masyarakat. “Kami ingin agar mereka dapat kembali berkarya dan tidak depresi dengan apa yang mereka alami,” kata Ana, Selasa pekan lalu.
Ana mengungkapkan, ODHA umumnya terkejut dan terguncang ketika mendengar hasil pemeriksaan yang menyatakan mereka positif mengidap HIV. “Mereka yang dirujuk sering datang dalam kondisi down,” terang dia.
Salah satu yang menjadi perhatian Angel Heart adalah bagaimana ODHA dapat menerima kondisinya, namun tidak tenggelam dalam keadaan tersebut. Selain itu, ODHA juga didorong untuk berani mengungkapkan keadaannya pada keluarga.
“Kami pun akan membantu keluarga ODHA untuk membangun penerimaan mereka pada keluarga yang terinfeksi,” terang Ana. “Sebagai orang terdekat, keluarga tidak boleh mendiskriminasi dan memberikan stigma kepada anggota keluarganya yang terinfeksi HIV,” terang Ana.
****
DISKRIMINASI, stigma, apalagi anggapan HIV dan AIDS sebagai sebuah kutukan adalah satu hal yang ingin dihilangkan oleh para penggiat HIV dan AIDS. Itu kerap diungkapkan dalam setiap penyuluhan dan peringatan Hari AIDS sedunia setiap 1 Desember.
“Kami ingin agar para ODHA diperlakukan sebagaimana manusia biasa, bebas dari diskriminasi. Itu yang sulit dihilangkan dari masyarakat kita,” kata Pieter Pureklolong.
Dalam upaya menekan berkembangnya stigma, Dinas Kesehatan Kota Batam gencar melakukan sosialisasi kepada tokoh-tokoh agama. “Kami saat ini bermitra dengan para mubalig agar mereka bisa membantu mengurangi stigma yang berkembang terkait ODHA,” kata Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Kota Batam, Sri Rupiati.
Diskriminasi dan stigma selama ini membuat ODHA tidak berani terbuka mengenai kondisi mereka di depan publik. Aktivis HIV AIDS dari Yayasan Komunikasi Informasi dan Edukasi (YKIE) Kota Batam, Sibuan Abdurrahman, mengungkapkan salah satu bentuk ketidakberanian itu adalah jarangnya ODHA tampil di depan publik pada hari AIDS 1 Desember. Seringnya di Batam, yang turun di jalan adalah aktivis HIV / AIDS di Batam yang membagikan berbagai media sosialisasi cara menghindari HIV dan AIDS atau untuk tidak mendiskriminasi ODHA.
“Kita bandingkan di negara yang stigma negatif terhadap ODHA sudah sangat kecil. Di sana ODHA sendiri yang turun dan mereka mengumpulkan donasi yang nanti mereka gunakan untuk berkarya,” kata Sibuan.
Ana Budiani mengatakan, dalam setiap sosialisasi pencegahan infeksi HIV, pengidap HIV / AIDS tidak diperkenalkan lebih dulu. Mereka selalu tampil belakangan.
“Saat sosialisasi, mereka duduk di antara peserta. Saat peserta bertanya di mana para ODHA, mereka kaget ketika melihat para ODHA secara fisik tidak berbeda dari mereka,” kata Ana.
Adanya stigma yang berkembang terhadap ODHA membuat mereka ragu untuk tampil berbicara dengan media. Saya sempat meminta kesempatan kepada Ana untuk mewawancarai ODHA dari Angel Heart. Ana mengatakan tidak ada masalah dengan hal itu dengan syarat identitas ODHA tetap rahasia. Namun saat Ana menyampaikan pada ODHA, mereka menyatakan tidak bersedia karena khawatir dampak yang mereka terima jika ada yang tahu kondisi mereka.
Diskriminasi dan stigma buruk yang masih berkembang tentang ODHA memang muncul karena HIV / AIDS selama ini diidentikkan dengan tindakan asusila dan penyakit para pecandu narkoba. Padahal, tidak selamanya seseorang terinfeksi virus HIV melalui hubungan seksual berisiko atau tukar menukar jarum suntik. Selama satu setengah tahun berkarya di Batam, Angel Heart pernah menangani penderita HIV berumur 14 tahun. Orang tua anak itu terkejut dan kebingungan mendapat kabar bahwa sang anak terinfeksi virus mematikan itu.
“Setelah diselidiki, ternyata sang anak tertular virus HIV ketika mendapatkan transfusi darah pada usia sembilan tahun. Ketahuannya (terinfeksi HIV) pada usia 14 tahun. Jadi bisa dikatakan selama lima tahun virusnya sudah berkembang,” kata Ana.
Anak itu pun segera dirujuk untuk mendapatkan layanan ARV agar virusnya tidak berkembang. KDS Angel Heart juga membimbing orangtua anak itu untuk bisa menerima keadaan dan menjaga agar sang anak bisa mendapat perawatan yang dibutuhkannya.
Secara keseluruhan, dari tahun 1992 -Oktober 2014 Dinas Kesehatan Batam mencatat terdapat 3.477 orang terinfeksi HIV, dan 1.510 dari jumlah itu telah berkembang menjadi AIDS dan terdapat 561 penderita AIDS yang meninggal dunia.
Sementara itu, dalam tiga tahun terakhir pemeriksaan terhadap kelompok berisiko tinggi selalu mendapatkan terinfeksi baru sekitar 500 orang setiap tahunnya. Data KPA Batam pada 2012, dari 8.000 orang yang dites, terdapat 524 orang terinfeksi HIV, pada 2013 ada 577 dari 10.000 terperiksa yang terinfeksi HIV. Di tahun 2014, hingga bulan Oktober, terdapat 581 orang baru yang ketahuan terinfeksi HIV, 252 di antaranya sudah menjadi AIDS, dan selama tahun ini ada 110 orang meninggal karena virus itudi Batam.
Angka itu sendiri bisa diibaratkan sebagai puncak gunung es. Pasalnya mayoritas angka dalam data itu didapat dari kelompok berisiko tinggi. Termasuk dalam kelompok itu adalah para pekerja seks, pengguna narkoba suntik, kaum gay, waria, lelaki suka lelaki, dan penghuni rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan.
Sementara para pria yang kerap berhubungan dengan pekerja seks atau melakukan hubungan seksual tidak aman dengan banyak perempuan kerap tidak melakukan tes. Padahal, gaya hidup seperti itu yang membantu penyebaran virus semakin luas.
Dokter Francisca mengungkapkan fakta yang mengejutkan: 60 persen perempuan yang positif HIV hasil pemeriksaan RSBK adalah ibu rumah tangga. Sekitar 34 persen adalah pekerja seks, tiga persen pengguna narkoba, dan tiga persen lainnya anak-anak.
“Jumlah itu menunjukkan pandangan bahwa HIV / AIDS itu penyakit para pekerja seks tidak sepenuhnya benar. Perempuan yang paling banyak mengidap adalah ibu rumah tangga,” tegas Francisca. “Mereka ditularkan oleh suaminya.”
Peluang penularan HIV terhadap ibu rumah tangga cukup besar jika menilik pola penyebaran virus HIV. Pieter mengungkapkan, penularan HIV di Batam paling banyak melalui hubungan seksual dengan lawan jenis. Ibu rumah tangga yang tertular jelas membawa risiko menularkan virus HIV pada janin jika mereka hamil.
Karena banyak ODHA yang tidak menyadari mereka sudah tertular HIV, maka diskriminasi dan stigma buruk terhadap ODHA menjadi suatu ketidakadilan. Hal itu yang menjadi perjuangan para pegiat HIV dan AIDS. Selain itu, mereka juga gencar melakukan kampanye untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS seperti hubungan seks aman menggunakan kondom dan menggunakan jarum suntik steril serta melakukan pemeriksaan HIV.
“Jika cepat dideteksi, pasien terinfeksi HIV lebih cepat mendapat pertolongan medis sehingga ia tidak perlu khawatir jika tidak ingin ketahuan,” kata Francisca.
Meski demikian, para pegiat di KDS tidak bisa menjadi polisi moral. Mereka tidak bisa meminta seorang pekerja seks berhenti jika tidak ada pekerjaan lain yang dapat menjadi topangan kehidupan mereka. Para pengguna narkoba suntik pun tak bisa disuruh berhenti seketika.
“Kami hanya bisa meminta para pekerja seks ataupun pria yang tertular untuk menggunakan kondom saat berhubungan. Untuk pengguna narkoba suntik, mereka dapat menggantinya dengan menggunakan terapi metadon,” Francisca menambahkan. Di Batam, terapi metadon dilayani di Rumah Sakit Umum Daerah Embung Fatimah.
Selain itu, para pegiat juga meminta pengidap HIV untuk melakukan gaya hidup sehat dan rutin mengonsumsi ARV. Hal ini agar virus yang ada dalam tubuh mereka tidak kebal terhadap ARV dan bermutasi.
Ana mengaku, banyak pengidap HIV yang bergabung dalam KDS kemudian mengubah gaya hidup setelah mengetahui dirinya terinfeksi HIV. Ada yang tidak lagi berhubungan seks gonta-ganti pasangan. Ada pula yang berhenti menggunakan narkoba suntik. Namun tidak semua seperti itu.
“Ada yang memang sengaja ingin menularkan penyakit itu sebagai bentuk balas dendam. Mereka tidak ingin menderita seorang diri,” kata Ana.
Di luar perjuangan melawan stigma dan diskriminasi, pengidap HIV/AIDS saat ini tidak perlu merasa khawatir dengan penyakitnya. Penemuan ARV sanggup membuat mereka hidup lebih lama. Francisca mengatakan, sepanjang rutin menjaga pola hidup sehat dan tepat waktu mengonsumsi ARV, harapan hidup terinfeksi akan semakin panjang.
“Kami masih memiliki pasien yang bertahan sejak 2004 mengonsumsi ARV. Di Jakarta bahkan ada terinfeksi HIV yang bertahan selama 18 tahun karena mengonsumsi ARV,” kata dia.
ARV bukan obat yang menyembuhkan. Ia hanya mencegah virus HIV berkembang sehingga tidak sampai menurunkan daya tahan penderita HIV. Tapi ia dapat mencegah penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dilahirkan.
Hanya saja, mengonsumsi ARV adalah satu pengorbanan karena harus dilakukan seumur hidup. Efek sampingnya pun tidak ringan. Kristin, petugas di Balai Kesehatan Keluarga Kita yang dikelola YKIE, mengungkapkan efek samping berupa alergi, kegemukan tubuh bagian atas dan penyusutan tubuh bagian bawah, mual, dan halusinasi menjadi persoalan yang kerap mengganggu ODHA. Ini membuat mereka memutuskan berhenti mengonsumsi ARV yang mengakibatkan virus menjadi kebal dan bermutasi.
“Sebelum mendapat ARV, ODHA harus menyadari efek sampingnya yang menyakitkan. Ini agar tubuh mereka siap,” kata Kristin. “Namun efek samping ini tidak lama, sekitar dua hingga tiga bulan.”
Hingga saat ini akses ARV hanya bisa diperoleh di RSBK, RSUD Embung Fatimah, RS BP Batam, dan RS Elizabeth. Bagi penderita HIV yang mendapat layanan ARV, mereka memperolehnya secara gratis. Dinkes Kota Batam bahkan ingin menambah layanan ARV di Puskesmas Lubukbaja dan Puskesmas Batuaji.
Menurut Sri Rupiati, Dinas Kesehatan akan melakukan penguatan layanan pengendalian HIV / AIDS dengan membentuk layanan satelit di lima puskesmas. Pada tahun 2015, Dinas Kesehatan akan menambah layanan VCT di Puskesmas Seipanas, Sambau, dan Belakangpadang. Ketiganya menyusul Puskesmas Batuaji dan Puskesmas Lubukbaja yang lebih dulu memberikan layanan pada penderita HIV dan infeksi menular seksual. ***
(Dimuat di Majalah Batam Pos 16 November 2014) | yermiariezky