Kisah Tiurma Suci, Wanita dengan HIV/AIDS yang Penuh Inspirasi
Wanita hebat bukan ditunjukan dari berapa banyak gelang di tangan. Bukan dilihat dari tas bermerek yang ia tenteng. Bukan tentang seberapa tinggi jabatan suami mereka. Bukan juga seberapa banyak titel yang berderet menyertai nama. Bukan tentang tubuh indah dan paras rupawan yang tanpa empati. Wanita hebat adalah mereka yang penuh inspirasi, yang mempunyai kerelaan untuk berbagi dengan sesama. Wanita yang berhasil menembus keterbatasan diri. Wanita-wanita yang mampu membangkitkan mereka yang lemah dengan bersama-sama berjuang untuk lepas dari keterpurukan.
Berikut adalah kisah inspiratif dari seorang wanita Indonesia yang hidup dengan HIV/AIDS. Penulisan nama, konten serta penyertaan foto sudah mendapat izin dari yang bersangkutan. Namaku Tiurma Suci Marbun Banjarnahor (TS), atau sering dipanggil kak Tiur. Lahir 25 Mei 1982 di desa Sihikkit, Onang Ganjang. Yaitu sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Aku anak nomor 4 dari 5 bersaudara, anak dari seorang petani biasa. Pendidikanku hanya sampai tamat SD saja. Ketika dewasa aku mengadu nasib di P. Samosir dengan bekerja sebagai penjaga toko obat. Di sana aku berkenalan lalu berpacaran dengan seorang pemuda. Tahun 2007 kami sepakat untuk menikah. Aku berhenti bekerja kemudian membantu usaha milik keluarga suami. Salah satunya usaha kami adalah penyediaan bahan bakar di daerah itu, termasuk untuk kapal-kapal di Danau Toba. Kehidupan ekonomi keluarga kami cukup baik pada waktu itu.
Sekitar tahun 2010 suamiku jatuh sakit. Ketika ia berobat ke Jakarta, dia dinyatakan positif terjangkit virus HIV. Aku yang mendengar kabar tersebut merasa shock. Kala itu aku sedang hamil 7 bulan. Aku merasa kawatir dan takut jika aku juga telah tertular virus itu juga. Sebenarnya yang paling aku cemaskan adalah bayi dalam kandunganku. Sebagai informasi, seseorang yang dinyatakan positif HIV/AIDS bisa saja mempunyai kehidupan dan kesehatan yang normal sejak ia terinfeksi sampai 10 tahun kemudian. Biasanya baru diketahui jika seseorang melakukan tes darah. Seperti apa yang dialami oleh suami Kak Tiur. Tanda-tandanya bisa seperti daya tahan tubuh yang buruk, diare yang tidak berhenti atau batuk yang berkepanjangan.
Segera aku melakukan tes VCT (Voluntary Counseling and Testing) per 3 bulan di RSUD Dr Pirngadi Medan. Dua kali aku tes selalu hasilnya negatif. Namun aku sebenarnya masih juga ragu dengan hasil tes tersebut. Karena aku mendapat informasi bisa saja aku sedang memasuki “masa jendela”. Masa dimana seseorang sudah tertular virus HIV namun belum bisa terdeteksi. Sehingga ketika anakku lahir pun aku tidak berani untuk menyusuinya. Namun pihak keluarga selalu mendesak agar aku memberi ASI pada bayiku, karena 2 kali tes hasilnya selalu negatif. Bayiku itu akhirnya aku susui juga walau dengan berat hati. Voluntary Counseling and Testing (VCT) sendiri adalah tes HIV yang dilakukan secara sukarela oleh seseorang yang dianggap berpotensi terinfeksi virus HIV.
Dalam perkembangannya bayiku sering sakit-sakitan. Aku mulai cemas, sehingga aku kembali melakukan tes di sebuah rumah sakit di Pematang Siantar. Hasilnya ternyata positif. Seketika dunia menjadi begitu gelap. Aku seperti tiba-tiba dihantam beban yang sangat berat. Tubuhku menjadi lemah dan lumpuh tak berdaya begitu mendapat vonis bahwa aku terjangkit virus HIV. Malaikat kematian seolah-olah sudah berdiri hadapanku, siap untuk mencabut nyawa. Itu adalah kenyataan pahit yang harus aku terima. Ini bukan penyakit biasa. Semua orang pasti punya gambaran yang mengerikan tentang penyakit ini. Ada rasa marah dan geram kepada orang yang telah menularkan virus itu kepadaku, yaitu suamiku. Aku segera membawa bayiku ke sebuah laboratorium di Medan agar segera dilakukan tes PCR (Polymerase Chain Reaction). Hasil menunjukan bahwa Ia ternyata sudah terjangkit virus HIV. Itulah mengapa dia sering sakit, diarenya juga tidak putus.
Aku sangat merasa bersalah, mengapa dulu aku menyusuinya. Tubuh mungilnya tidak mampu menahan ganasnya virus tersebut. Ketika usianya mencapai 6 bulan Tuhan memanggilnya. Sebagai seorang ibu hatiku sungguh hancur saat itu. Sampai sekarang kadang rasa bersalah itu muncul. Andai dulu aku tidak memberinya ASI, mungkin ceritanya akan berbeda. Aku merasa sangat kehilangan.
Status ODHA
Menjadi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) otomatis akan mendapat hukuman sosial dari masyarakat. Minimnya pengetahuan akan penyakit itu membuat ODHA mendapat stigma negatif. Apalagi bila yang terkena HIV/AIDS itu adalah perempuan. Orang hanya tahu bahwa perempuan nakal saja yang bisa terkena HIV/AIDS. Kehidupan rumah-tanggaku juga mulai berantakan. Suamiku juga suka bersikap temperamental, mungkin itu karena pengaruh narkoba atau dia sudah frustasi dengan nasibnya. Tidak jarang ia memukul dan menendangku. Aku masih ingat bagaimana suatu ketika ia menganiaya aku. Lalu menyeretku ke jalan dan hendak mengikatku ke tiang listrik hanya karena kesalahpahaman semata. Aku mengalami trauma baik fisik maupun psikis. Akibat yang masih aku rasakan hingga sekarang. Pernah suatu waktu ia menunjangku hingga aku tidak bisa berjalan selama seminggu. Dokter mengatakan ada syarafku yang terjepit. Makanya sampai sekarang aku tidak bisa bekerja dan angkat beban yang berat-berat.
Hidupku bagai dalam neraka saja. Janji suci perkawinan untuk hidup dalam susah dan senang, untung dan malang itu hilang dengan sendirinya. Suamiku sendiri pada akhirnya harus menyerah pada keganasan virus itu. Ketidakteraturan dalam minum obat ARV (Antiretroviral) membuat daya tahan tubuhnya terus memburuk. Akhirnya pada tahun 2012, suamiku meninggal dunia. Banyak ODHA yang menghentikan pemakaian obat ARV ketika merasa dirinya sudah sembuh. Padahal sejauh ini hanya obat itu saja yang membantu ketahanan tubuh penderita HIV/AIDS. Obat yang mampu membuat mereka bertahan hidup.
Aku yang juga telah terinfeksi virus HIV terpaksa harus menjalani pengobatan di Rumah Sakit Adam Malik. Masa-masa pertama mengkonsumsi obat ARV aku merasakan efek samping yang begitu kuat. Badanku lemah tak berdaya, tingkat Hb dalam darahku drop. Aku tidak bisa apa-apa kecuali berbaring saja di tempat tidur. Pernah juga aku mengalami gatal-gatal disekujur tubuhku. Sakitku bukan sakit biasa. Siapa yang mau mengunjungiku di rumah sakit? Aku betul-betul merasa sendiri, serasa dikucilkan. Saudara di kampung yang aku mintai tolong untuk mengurus dokumen pun malas membantu. Tuhan tidak tidur. Doa-doa yang tidak kenal lelah aku panjatkan mulai dijawabNya. Kondisiku perlahan membaik, namun aku masih tinggal di shelter. Ketika aku berada di shelter yang itulah, aku banyak berkenalan dengan LSM-LSM yang memberi pendampingan. Salah salah satunya adalah Caritas PSE.
Caritas PSE adalah sebuah organisasi kemanusiaan dibawah Keuskupan Agung Medan yang bergerak di bidang sosial khususnya masalah AIDS, Narkoba, dan korban bencana alam. Bertempat di Jalan Sei Asahan 42 Medan, Caritas PSE juga menyediakan shelter dan perawatan bagi para pecandu narkoba dan pengidap HIV/AIDS yang buka 7 x 24 jam.
Awalnya memang tidak mudah karena aku kadang merasa sudah tidak punya harapan hidup sama sekali. Apakah semua usaha mereka akan berhasil? Lambat tapi pasti, bersama mereka akhirnya aku merasa tidak sendiri. “Aku masih bisa berguna sebagai manusia di sisa hidupku.” begitu pikirku dalam hati ketika itu. Ada pola pikir yang harus aku ubah agar aku bisa melanjutkan hidupku. Aku ingin menjalani hidup secara normal. Sesederhana itu saja harapanku saat itu.
Titik Balik dengan Menjadi Relawan
Semakin lama mentalku yang sempat down perlahan bangkit. Aku ingin menghapus stigma miring masyarakat terhadap mereka pengidap HIV/AIDS. Ketika aku merasa sudah lebih baik terutama kepercayaan diriku pulih, maka pada tahun 2012 aku datang Caritas PSE untuk menjadi relawan. Aku merasa diterima di sini walau agamaku berbeda. Aku ingin secara aktif membantu pendampingan bagi mereka yang senasib dengan aku. Terutama orang-orang baru, mereka yang mengalami hal yang sama ketika awal-awal aku divonis mengidap HIV/AIDS. Seperti ada kewajiban moral yang harus aku lakukan setelah aku mendapat “pencerahan”. Sebagai relawan aku wajib mengikuti pelatihan-pelatihan, seminar dan lokakarya. Relawan juga harus dibekali dengan pengetahuan dan hal teknis berkenaan dengan HIV/AIDS. Di sana aku juga diajari public speaking. Biar pendidikanku rendah tapi aku bisa berbicara dengan lugas dihadapkan banyak orang dari berbagai latar belakang. Aku sudah tidak canggung berbicara dengan siapa saja. Sisi positif lainnya, aku bisa keluar masuk hotel berbintang.
Menjadi relawan yang sekaligus penyandang status ODHA membuatku mudah untuk berinteraksi dengan para pengidap HIV/AIDS. Aku mampu untuk ikut merasakan apa yang mereka rasakan, terutama para perempuan. Istilahnya adalah peer to peer, ada perasaan senasib sepenanggungan sehingga mereka lebih bisa terbuka. Kami seperti ada ikatan khusus. Aku kerap melakukan kunjungan ke rumah sakit- rumah sakit, tempat pengidap HIV/AIDS menjalani perawatan. Selain melakukan pendampingan, aku juga membantu mereka dalam mengurus BPJS Kesehatan. Asal tahu, banyak dari penderita HIV/AIDS yang berasal dari kampung. Tidak tahu prosedur dan tidak punya kerabat yang bisa membantu di Medan ini. Selain itu aku juga membantu mengambilkan obat ARV untuk ODHA lain sekaligus mengantar obat tersebut ke rumah mereka. Banyak dari ODHA yang masih malu datang ke bagian layanan AIDS di rumah sakit karena tidak mau identitas mereka diketahui umum. Ya nanti aku dikasih semacam ongkos transport. Kami juga melakukan kunjungan ke Lapas Tanjung Gusta. Kita tahu bahwa Lapas adalah salah satu tempat yang rawan terhadap penyebaran HIV/AIDS. Tugasku melakukan pendampingan dan penyuluhan, dan bukan cuma bagi narapidana wanita saja, tetapi juga narapidana laki-laki dan anak-anak.
Bersama Caritas PSE, aku juga sering memberikan tesimoni-tesimoni dalam program tentang HIV/AIDS dan narkoba di Radio Maria yang ada di Jalan Hayam Wuruk. Ini salah satu cara kami dalam mengedukasi masyarakat. Di situ kami bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pendengar melalui interaksi telepon. Faktanya memang masih banyak orang yang belum mengenal betul apa itu HIV/AIDS.
Menjadi relawan bukan perkara mudah. ODHA mempunyai masalah yang begitu kompleks. Penyakit ini bukan sekedar gangguan fisik, namun mempengarui kesehatan mental. Beban psikis yang down butuh proses dan waktu untuk bangkit. Jika terlalu lama maka bisa mempengarui kesehatan fisik. Belum lagi persoalan sosial ekonomi yang menjadi rantai problem tak terpisahkan dari ODHA. Aku sungguh paham karena aku sendiri pernah sedang melakoninya. Aku sendiri butuh 7 bulan untuk betul-betul bisa mengembalikan kepercayaan diri. Menjadi relawan membuatku sampai ke banyak daerah di Sumater Utara. Tempat dimana masih banyak orang yang belum mengerti tentang bahaya AIDS.
Di pelosok Sumatera Utara ini, aku juga bertemu banyak ODHA yang sebagian besar adalah wanita. Aku mendampingi mereka, mendengar kisah-kisah hidup mereka. Kisah-kisah miris yang terkadang bisa membuatku kembali menangis dalam hati. Tetapi di sisi lain, ada rasa bangga bahwa kehadiranku ditengah mereka itu membuat mereka tidak merasa sendiri. Kehadiranku seperti membuat mereka merasa sedang bersama-sama meretas asa. Sebagai relawan aku paling senang bila bisa berbagi pengalaman dengan orang muda, pelajar dan mahasiswa. Mereka lebih bisa membuka diri terhadap ODHA. Mereka pun banyak bertanya tentang pengalamanku. Aku ingin orang muda kita terhindar dari bahaya HIV/AIDS dengan menjauhi narkoba dan memahami prilaku sex yang aman. Makanya aku aktif dalam penyuluhan-penyuluhan kepada kaum muda seperti ke sekolah-sekolah juga. Kaum muda termasuk kelompok yang rentan dengan penyalahgunaan narkoba. Sedangkan ada hubungan antara HIV/AIDS maupun narkoba. Masa depan mereka masih sangat panjang.
Aktivis Perempuan
Aku juga tergabung dalam kelompok aktivis perempuan yaitu Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI). Sebuah jaringan nasional dimana anggotanya adalah perempuan yang mengidap HIV/AIDS dan mereka yang juga terdampak HIV/AIDS. Wadah dimana kami bisa berbagi pengalaman dan saling menguatkan satu sama lain. Kebanyakan dari kami adalah istri-istri yang menjadi korban karena tertular dari suami. Salah satu perhatian kami adalah masalah perempuan yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) termasuk perkosaan. Perlakuan buruk dan menyakitkan yang juga dulu pernah aku alami. Aku pernah jadi korban kekerasan, jadi aku tahu apa yang para korban itu rasakan. Kami para wanita, sering dianggap lemah dan hanya dijadikan obyek dari lelaki yang tidak bertanggung jawab. Aku ingin mereka bisa kuat dan berani bersuara. Biasanya kami turun ke jalan bersama aktivis lain menyuarakan tuntutan.
Walaupun saat ini kesetaraan gender kerap dikampanyekan namun kasus KDRT jumlahnya meningkat setiap tahun. Payung hukum berupa undang-undang khusus perlindungan terhadap perempuan dan anak belum secara maksimal melindungi kami. Di banyak kasus, wanita tidak berani melapor pada polisi. Jika melaporkan suami, biasanya tidak lama nanti laporan itu dicabut kembali karena desakan keluarga dan juga karena takut. Aku ingin wanita korban kekerasan berani bersuara. Berani membela sendiri hak-hak mereka yang telah dilindungi oleh negara. Bersama IPPI, aku juga coba mendorong para Pekerja Seks Komersial (PSK) agar ‘memaksa’ pengguna jasa mereka untuk menggunakan kondom. Kami sering melakukan aksi pembagian kondom dan selebaran di kawasan “lampu merah” kota Medan dan di Berastagi. Kak Tiur bercerita dengan begitu runut membuat saya mudah untuk mencerna apa yang ia sampaikan. Kemampuan berbicara dihadapan orang baru ditambah wawasan yang luas membuat saya salut.
Di Caritas PSE sendiri aku melakukan piket rutin sebagai aktivitas harian. Istilahnya piket Lass (Layanan alat suntik steril). Tugasku adalah melayani para pecandu narkoba yang membutuhkan jarum suntik. Jarum suntik memang disediakan gratis di sini. Terdengar aneh bukan? Sepertinya kami menyediakan sarana bagi pecandu narkoba. Layanan alat suntik steril adalah satu program dari Kementerian Kesehatan RI. Pengguna narkoba akan diberikan satu amplop yang berisi 2 alat suntik, alkohol, kondom, dan juga leaflet. Dalam satu hari bisa mencapai 20 sampai 40 orang pengguna yang datang. Pengguna yang datang diwajibkan untuk membawa limbah/bekas alat suntik yang sebelumnya mereka gunakan.Tujuan Lass adalah menghindari mereka dari pemakaian jarum suntik bersama-sama. Ini akan memutus atau meminimalisir mata rantai dari penyebaran virus HIV/AIDS.
Disini (Caritas PSE) aku masuk dari Senin sampai Jumat. Mulai jam 8.30 hingga 17.30. Jika harus ke RS Adam Malik untuk mengambil obat maka aku bisa ijin tidak masuk. Perbincangan kami memang sesekali berhenti sejenak karena Kak Tiur harus melayani mereka yang datang untuk mengambil jarum suntik. Dari penampilan fisik mereka, sekilas kita bisa tahu mereka adalah pengguna narkoba. Kak Tiur mengontrak sebuah rumah kecil dengan 1 kamar di daerah Sei Mecirin yang dibayar 350 ribu per bulan. Lumayan jauh juga karena ia harus dua kali naik angkutan umum untuk sampai di Caritas PSE. Kak Tiur lebih sering sampai di rumah pukul 7 malam karena selepas piket atau tugas kunjungan ia harus membuat laporan. Hari Sabtu dan Minggu lebih banyak ia habiskan untuk melakukan kunjungan ke sesama ODHA, mengantar obat yang ia bantu ambilkan, atau menghadiri undangan pertemuan yang sering diadakan oleh LSM-LSM. Ia juga aktif mengumpulkan data perempuan-perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Aku berbicara dan berbagi di sini bukan berharap simpati atau belas kasihan (pembaca). Karena rasa iba seperti itu sebenarnya adalah “racun”. Dahulu awalnya aku ingin orang menaruh kasihan padaku. Aku ingin orang datang dan menolong aku, yang mereka kata adalah saudara dan sesama. Tetapi semua itu ternyata membuatku menjadi sosok manusia yang lemah! Padahal jangankan untuk berjalan, ibarat kata berlari pun aku masih sanggup. Begitu banyak yang bisa aku lakukan di sisa hidupku ini. Biar masih ada sebagian orang dan keluarga yang masih sulit menerimaku namun itu tidaklah terlalu menjadi masalah. Ini soal kenyataan hidup yang harus diterima dan aku jalani. Semua orang juga mempunyai kenyataan hidup yang tidak mengenakan.
Harapan
Entah sampai kapan umurku ini. Aku tidak mau terlalu memikirkannya. Aku ingin menghabiskan waktuku agar bermanfaat. Bagi semua orang, tidak hanya bagi mereka yang senasib saja.. Aku ingin semua orang bisa mengerti, mampu memahami bahwa kami para pengidap HIV/AIDS adalah sama seperti manusia yang lain. Masyarakat harus diedukasi melalui aksi-aksi nyata secara terus-menerus. Bukan hanya pada event khusus seperti Peringatan Hari Aids Sedunia saja. Suka-tidak suka dan harus diakui bukan hanya masyarakat biasa yang ‘buta’ tentang HIV/AIDS, mereka yang terdidik dan para pejabat pun banyak yang enggan untuk sekedar bersalaman dengan kami. Bahkan ada pekerja medis yang bersikap diskriminatif terhadap ODHA. Sungguh menyedihkan bukan? Pernah dulu ketika kami sedang live di sebuah radio membahas masalah HIV/AIDS.
Seorang ibu-ibu menelepon radio tersebut dan protes dengan kehadiran kami. Ia merasa tidak terima bahwa radio tersebut ‘dikotori’ oleh kehadiran penderita HIV/AIDS. Belum lama ini juga di sini (Medan), malah ada seorang siswa sekolah dasar yang dikeluarkan dari sekolah hanya karena ia mengidap HIV/AIDS. Kami melakukan protes, termasuk dengan mengirim surat kepada Bapak Anies Baswedan. Syukur sudah mendapat respon yang positif. Coba, apa salah anak itu? Bukan dia yang mau kena HIV/AIDS. Potensi penularan virus HIV hanya lewat darah saja atau hubungan sex yang tidak aman. Saya tertegun dan hampir tidak percaya mendengar penuturannya itu. Ternyata masih ada anggota masyarakat yang mempunyai pandangan negatif terhadap penderita HIV/AIDS. Termasuk dari kalangan terdidik sekalipun. Ketika saya tanyakan apakah anak tersebut bisa saya temui, Kak Tiur mau menanyakan terlebih dahulu kepada klien (istilah untuk mereka yang didampingi) apakah yang bersangkutan bersedia untuk bertemu atau tidak.
Aku juga berharap pemerintah kalau bisa menyediakan lebih banyak shelter. Atau rumah-rumah sederhana lalu di sana kami diberi pelatihan-pelatihan untuk usaha. Sebagian besar penderita HIV/AIDS itu wanita yang miskin. ODHA harus dibantu dengan diberdayakan karena itu bisa memulihkan semangat hidup. “Apakah ada bantuan khusus dari dinas sosial misalnya. Seperti Bansos atau Kartu Indonesia Sejahtera?” saya coba mengorek lebih jauh kepedulian pemerintah terhadap ODHA. [TS]: Saat ini katanya ada program Bansos bagi para ODHA sebesar 5 juta yang diperuntukan untuk modal usaha. Maka itulah aku sedang mau buat KTP Medan, berharap bisa dapat. Tapi kendalanya kepling-kepling (kepala lingkungan) malas kalau kita mintai tolong urus surat. Sering diberitakan bahwa pelayanan birokrasi yang buruk dan berbelit di Sumatera Utara menyebabkan warga masyarakat penderita HIV/AIDS sulit ketika mengurus dokumen seperti Surat Miskin, Jamkesda dan BPSJ Kesehatan. Kak Tiur sendiri saat ini sedang mengurus surat pindah dari Samosir ke Medan, dan hampir 1 tahun belum kelar juga. Aktif di Media Sosial Ketika saya bertanya apakah ia punya foto dokumentasi, jawabannya sedikit mengejutkan dan membuat saya sedikit malu. ” Oh ya…Kakak punya facebook?” tanya saya setengah tak percaya mendengar jawabannya. Ternyata wanita ini juga aktif di media sosial!
Ada Facebook. Kalau Twitter nggak punya. Foto-fotoku banyak aku simpan di sana. Selain itu kadang share berita-berita berkenaan dengan HIV/AIDS. Juga bikin status dan menjaga hubungan dengan relawan lain. Lain itu ya buat hiburan saja. Main Facebook juga membuatku merasa sama seperti orang-orang lain. Berinteraksi dan tidak ketinggalan jaman. Foto-foto dalam album juga nantinya bisa jadi kenang-kenangan tersendiri. Seperti warisan bahwa aku pernah ada di dunia ini. “Kakak bisa komputer?” selidik saya. Rasanya bagus juga jika ia bisa ngeblog atau bikin buku sendiri.
Aku bisa dikit-dikit. Diajarin sama staff sini. Ya sesekali saja kalau harus kirim email. Lewat komputer di dalam (kantor). Kalau bikin laporan ke PM (Project Manager), misalnya laporan kegiatan, khan mesti dikirim pakai email. Inginnya punya laptop sendiri tapi belum kesampaian. Saya sungguh salut untuk wanita yang sangat sederhana ini. Kak Tiur sudah melek internet. Walau cuma tamatan SD namun ia berupaya untuk mengaktualisasi diri melalui jejaring sosial dan mengambil manfaatnya. Bukan lewat laptop, tablet atau hp canggih. Tetapi hanya lewat Blackberry jadul! Saya meminta ijin untuk menggunakan beberapa fotonya sebagai materi tulisan. Dia pun memperbolehkan. Ketika saya masuk ke akun facebooknya memang benar dia cukup rajin bikin status dan mengunggah foto kegiatan serta foto pribadi. Kak Tiur ternyata rajin shelfie juga. Terus terang selama wawancara berlangsung, tangan saya sesekali merinding mendengar wanita ini bercerita.
Ada bagian-bagian yang mengiris rasa kemanusiaan saya. Satu sisi timbul juga rasa kagum ketika membayangkan bagaimana seorang wanita yang termarjinalkan itu perlahan bisa bangkit. Cerita yang membuat saya kadang mengernyitkan dahi, seakan sulit untuk percaya bahwa ia mampu melalui semuanya itu. Manusia tidak ada yang abadi, suatu saat pasti mati. Tetapi mengidap HIV/AIDS tentu lain ceritanya bukan? Satu hal yang juga membuat saya kagum adalah ia tidak mau menutup diri. Ia memperbolehkan saya menulis nama lengkap dan menyertakan foto dirinya untuk tulisan ini. “Ini nggak apa-apa saya tulis nama lengkap kakak?” tanya saya sekaligus meminta ijin.
Nggak, silakan. Aku tidak keberatan. Ia menjelaskan bahwa ODHA tidak perlu menutup diri. ODHA tidak berbahaya bagi orang lain. Kak Tiur ingin juga agar ODHA-ODHA yang lain bisa seperti dirinya. Toh selama ini juga ia sudah terbuka dengan sering memberi tesimoni dan konseling. Mele Hutagalung, salah satu staff Caritas PSE mengakui bahwa Kak Tiur adalah sosok yang luar biasa. Ia tipe wanita yang mau belajar. Bagaimanapun sungguh tidak mudah untuk bangkit melawan keadaan. Kini Ia malah mampu berkontribusi aktif dalam pelayanan kepada ODHA yang lain dan ikut aktif dalam program pencegahan HIV/AIDS. ” Kakak Tiur adalah contoh nyata bahwa semua ODHA itu bisa hidup normal.” jelasnya. Kehidupan Religi
Dalam keadaanku yang seperti ini, aku lebih banyak mendekatkan diri pada Tuhan. Sebagai seorang muslimah, aku coba menjalankan sholat dan mengaji. Aku ikut pengajian di sekitar rumah. Tetangga rumah orangnya baik-baik. Makanya kerasan juga di sana walau jauh. Sholat membuatku menjadi lebih tenang dan sabar. Menghilangkan marah dan dendam terhadap almarhum suami. Seperti ada keikhlasan yang muncul dalam diriku untuk menerima kondisiku saat ini. Tuhan telah memberiku banyak kesempatan untuk berbuat sesuatu. Penerimaan dan kepercayaan diri harus tetap aku jaga karena inilah modal aku untuk bisa mendampingi ODHA yang lain. Bagaimana bisa aku memberi konseling jika psikologiku masih terganggu? “Hidup sendiri tanpa keluarga…apakah tidak kesepian ‘kak?” pancing saya.
Dulu iya, tapi sekarang nggak terlalu ya. Banyak kegiatan. Banyak teman. Tapi kalau diberikan jodoh, maunya dapat jodoh yang mau mengerti kondisiku. Merasa Sehat “Terakhir nih Kak, apa yang kakak rasakan dengan HIV/AIDS?” tanya saya. Terus terang saya atau siapa saja pasti ingin tahu apa yang sebenarnya ODHA rasakan pada tubuh mereka.
Aku merasa baik-baik saja. Merasa sehat seperti orang lain. Memang sih untuk itu aku harus minum obat ARV secara disiplin 2 x sehari. Setiap jam 9 pagi dan 9 malam. Itu yang membuat aku bertahan. Kalau beruntung aku bisa bertahan 20 tahun lagi. Di Amerika baru-baru ini malah ada yang mampu bertahan hingga 35 tahun. Ya terserah juga sama yang diatas, pokoknya aku berusaha jaga kesehatan saja. Ya cuma kadang ada sih merasa nyeri di bagian belakang yang dulu pernah ditunjang pas KDRT dulu. Sarafnya kejepit. Lain itu ya biasa-biasa saja koq. Cuma makan saja yang mesti diperhatikan. Seperti tidak boleh makan telur setengah matang, daging atau ikan mentah, Sayur juga harus dimasak sampai matang. Kalau boleh minum susu yang banyak supaya tetap sehat.
Dua jam waktu berlalu, saya mulai bingung mencari-cari pertanyaan karena sepertinya ia sudah bercerita banyak tentang kisah hidupnya. Semuanya dari A sampai Z. Saya putuskan untuk menyudahi wawancara itu dan segera mengemasi peralatan. Saya menyalaminya dan tidak lupa mengucapkan terima kasih karena sudah berkenan menerima. Terlebih atas keterbukaannya. Saya berjanji untuk coba singgah lagi ke Caritas PSE atau langsung ke rumahnya agar ia bisa membaca isi artikel terlebih dahulu sebelum artikel ini dipublikasikan. “kalau repot datang, kirim saja lewat email, bang.” katanya. Lalu ia menyebutkan alamat emailnya.
Terus terang ada perasaan yang campur-aduk ketika terakhir menatap wanita itu. Saya coba singkirkan rasa belas kasihan akan nasibnya. Dari segi fisik ia memang terlihat kurus, tulang pipinya begitu terlihat. Namun sinar matanya menunjukan bahwa ia punya semangat kuat dalam menjalani hidup. ” Wanita yang sungguh luar biasa….” begitu hati kecil saya berbicara. Tiurma Suci Marbun Banjarnahor adalah wanita sederhana yang luar biasa. Ia mampu bangkit dari keterpurukan, tidak menyerah pada keadaan. Orang kampung yang mau memberdayakan dirinya sendiri dengan belajar banyak hal. Seorang wanita yang selalu berusaha berbagi dan menguatkan para perempuan lain, terutama mereka yang senasib dengannya. Menyandang status sebagai orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tidak membuat hidupnya menjadi sia-sia. Ia tidak mau menyerah, tidak mau terkungkung oleh status dan stigma negatif. Wanita yang tidak pernah pusing dengan bentuk fisik dan penampilannya. Sungguh sosok wanita yang patut untuk diteladani oleh siapa saja.
Suatu malam, ketika saya sedang menyelesaikan tulisan ini, masuk pesan singkat dari Kak Tiur ke hp saya. “Bang, smg tulisan abg bisa dibaca adikku jg yg sdh 8 thn ini tdk mau ketemu. Mksh.” Salam Kompasiana P.S : Terima kasih Tiurma Suci Marbun Banjarnahor yang telah sudi berbagi kisah inspiratif. Terima kasih pula untuk Mele Hutagalung dan Caritas PSE yang telah bersedia memfasilitasi dan memberi waktu. Semoga kita bisa bekerja sama lagi di lain kesempatan.
(kompasiana.com/venusgazer)