Pengurus YPI

Prof. DR. Dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI

Siapa sangka, seorang anak SD sudah melahap buku-buku karya pengarang besar, sebut saja Tolstoy, Rabindranath Tagore hingga Hemingway. Dia adalah Samsuridjal kecil. Tak pelak lagi termasuk karya pengarang Indonesia seperti Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisjahbana, Trisnowujono, Pramoedya Ananta Toer, Hamka, hingga karya pengarang perempuan: Selasih. “Saya juga telah membaca buku Ibunda karangan Maxim Gorki selama saya masih SD,” ujar salah seorang The Founding Father’s Yayasan Pelita Ilmu ini.

Samsuridjal muda adalah seorang aktivis mahasiswa. Ketika tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ia bergabung dalam HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Dalam umurnya yang 20 tahun, Samsuridjal muda menjadi ketua HMI Tanah Abang. Ketika itulah ia kerap berurusan dengan polisi. “Namun keadaan ini juga memberi hikmah buat saya. Karena terlalu sering berurusan dengan polisi dan Kodim setempat saya jadi dikenal apalagi sebagai mahasiswa kedokteran, mereka sudah menganggap saya sebagai dokter dan sering menanyakan berbagai hal yang menyangkut kesehatan. Karena saya dan kawan-kawan tak pernah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum maka kami kemudian berteman,” ujarnya.

Usai menamatkan dokternya tahun 1969, Samsuridjal muda langsung melanjutkan ke pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam dan selesai tahun 1976. Ia mengaku selama menempuh pendidikan kehidupannya amat prihatin. Selama pendidikan inilah kedua anaknya lahir: Irfan lahir tahun 1971 ketika masih pada tahap awal pendidikan, sedang Mita lahir sewaktu Samsuridjal muda bersekolah di Bangkok. Pengalaman berprofesi sebagai dokter dimulai ketika ditempatkan di Provinsi Kalimantan Timur, di Rumah Sakit Umum Samarinda. “Saya menjadi dokter spesialis pertama (berarti juga satu-satunya) di Kaltim,” ungkapnya. Semasa menjadi Ketua IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Samarinda, dr. Samsuridjal menggagas program kesehatan untuk transmigran dan remaja.

Pada waktu itu saya sudah mulai menyadari bekerja di masyarakat bukanlah hanya memberi tapi juga belajar. Jadi tidak hanya masyarakat yang dapat memetik manfaat kegiatan kita namun kita juga dapat belajar menjadi lebih matang. Kemudian saya belajar dari senior saya mengenai semboyan to give and learn. Mereka yang bekerja di tengah masyarakat sebenarnya juga belajar menumbuhkan sikap empati.

————————-

Prof. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM

Zubairi kecil bercita-cita menjadi pilot. Kini pupus sudah cita-citanya. Kenyataannya Zubairi kini menjadi dokter. Usai tamat dari SMA 3 Yogyakarta, Zubairi muda ikut tes ke kedokteran Universitas Indonesia. Beruntung ia diterima tahun 1965 dan lulus tahun 1971 (6 tahun kuliah, 4 tahun sarjana kedokteran dan 2 tahun dapat gelar dokter).

Setelah lulus Zubairi muda memilih menjadi staf dokter penyakit dalam. Sejak itulah ia bergabung dengan RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), dan mulai membuka praktek tahun 1978 di RSCM. Pendidikan spesialis penyakit dalam ke Paris tahun 1978.

Dokter yang satu ini bukan olahragawan. Namun tiap hari jalan pagi di sekitar Tebet Timur, dan mengonsumsi sayur dan buah sehari tiga kali. Selain itu tetap aktif menulis konsultasi kesehatan di Harian Umum Republika setiap ahad. Menurutnya dokter dituntut mengikuti perkembangan kesehatan, obat mutakhir yang telah terbukti, teknik pengobatan dan informasi lainnya. Karena itu Prof. Zubairi sehari minimal 2 jam membuka internet.

Resep sukses?

“Saya pernah ingat ketika saya disuruh menggantikan senior yang lagi pendidikan keluar negeri di bagian penyakit dalam tahun 1971, saya merasa dengan 10 orang pasien setiap hari terlalu banyak. Sehingga badan terasa lelah, tenaga habis terkuras. Tapi ketika saya melihat senior saya, pasiennya sehari sampai 20 orang, beliau bisa mengerjakannya. Lama-lama, saya dapat menyimpulkan daya tahan manusia itu sangat luar biasa. Artinya dengan beban yang besar lama-lama tubuh kita dapat beradaptasi sekaligus kita dapat mengatur waktu. Apalagi kalau memiliki kemampuan menata waktu dengan baik, kerjaan kita bisa lebih baik lagi. Kalau saya me-manage waktunya learning by doing sambil menjalani kerjaan. Artinya jangan sampai kerjaan yang banyak membuat kita sakit. Tuhan memberikan kita kemampuan untuk melakukan pekerjaan. Kalau kita anggap kerjaan itu suatu beban akan terasa tidak enak. Tetapi kalau kerjaan itu kita nikmati maka akan terasa menyenangkan.”

Prinsip yang dipegang?

“Manusia tidak ada yang sempurna. Tidak mungkin kita menguasai semua, tidak mungkin kita benar terus. Kita harus toleran, kita harus menghargai pandangan orang lain dan dapat menerima perbedaan dengan teman-teman tanpa kita harus menanggalkan prinsip hidup kita. Bahwa kita berbeda itu menjadi penting karena kita ditakdirkan berbeda. Saya lahir di Kauman dan teman-teman saya ada yang lahir di Merauke, Padang, Aceh, kita tidak minta dilahirkan. Jadi perbedaan itu sangat wajar.”

————————-

Dr Toha Muhaimin, MSc

Bila semua orang seperti Pak Toha tentu dunia ini akan aman. Pak Toha penuh senyum dan kedamaian. Bila orang mengemukakan pendapat Pak Toha akan mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia tak cepat membantah. Dia berusaha untuk memahami sebelum memberikan komentar. Jika diundang, meski sibuk dia akan mengusahakan datang. Pak Toha juga amat konsisten dengan tugas yang diembannya. Contohnya adalah upayanya memperkenalkan permasalahan HIV/AIDS di kalangan mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Setelah pulang mengikuti pelatihan HIV/AIDS di Amerika Serikat Pak Toha mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan perkuliahan HIV/AIDS di FKM UI. Semula tidaklah mudah untuk mengumpulkan dosen yang pada umumnya dari Jakarta yang selalu sibuk. Tak jarang Pak Toha memboyong mahasiswanya untuk mendengarkan kuliah atau berdiskusi dengan praktisi dan aktivis di bidang HIV/AIDS ke Jakarta. Dia juga gigih mengusahakan agar para mahasiswa melihat permasalahan nyata, bertemu dan berdiskusi dengan Odha. Dengan demikian para mahasiswa dapat memandang permasalahan secara lengkap. Untuk semua kegiatan tersebut Pak Toha berusaha hadir. Nah, bila giliran ujian mahasiswa, lagi-lagi Pak Toha yang jadi sibuk, kadang-kadang dia yang harus buat soal dan sekaligus mengoreksinya. Habis dosen yang lain sibuk sih.

Malam tahun baru biasanya YPI menyelenggarakan acara khusus. Namun acara YPI lain dari yang lain, acara tidak diadakan di hotel atau tempat peristirahatan tapi di sanggar. Topiknya juga unik, yaitu masa depan anak-anak putus sekolah. YPI mengundang sekitar 30 orang anak sekolah untuk merayakan malam tahun baru. Kue dan singkong dihidangkan dan anak putus sekolah diajak bicara tentang cita-cita mereka. Pengurus YPI diundang hadir dan seperti biasa yang rajin hadir adalah Pak Toha (kebetulan rumah Pak Toha tidak jauh dari sanggar).

Di tengah keceriaan menghadapi tahun baru yang penuh harapan beberapa pengurus YPI menceritakan kehidupan masa lalunya sewaktu masih kanak-kanak. Pak Zubairi menceritakan kehidupannya semasa bersekolah di Yogya, bagaimana dia bersama saudaranya bersekolah dengan fasilitas yang amat sederhana. Tapi cerita Pak Toha juga tak kalah menarik. Dia menceritakan keuletannya bertahan di masa sulit sewaktu kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Pak Toha tinggal di asrama Pegangsaan dan berusaha menambah uang saku dengan berjualan telor. Kesederhanaan dan keuletan ini mudah-mudahan dapat diteladani anak-anak putus sekolah yang sedang bergembira malam itu.

Sekarang Pak Toha tentu tidak perlu berjualan telor lagi. Dia telah menjadi dosen dan menjalankan praktek dokter namun kesederhanaan tak pernah lepas dri kepribadiannya. Dia tak segan menggunakan kendaraan umum. Di samping itu keberpihakannya terhadap orang miskin amat nyata. Suatu waktu dalam rapat pengurus dalam pembicaraan upaya penggalangan dana Pak Toha mengingatkan agar setiap uang yang diperoleh dari bisnis yang dilakukan YPI dialokasikan secara tetap untuk orang miskin.

Pada kunjungan ke pos desa YPI Pak Toha biasanya selalu ikut. Dia menikmati menggeluti berbagai masalah yang dihadapi masyarakat pedesaan. Semua dilakukan dengan tenang. Teman-teman YPI tak pernah melihat Pak Toha tegang dan marah. Dia adalah salah satu contoh aktivis LSM yang amat bersahabat. Mudah berkenalan dengan orang lain dan membangun tali silaturahmi. Jabatan Ketua Bidang Kemitraan YPI amat cocok bagi Pak Toha (Kini menjabat sebagai Ketua Umum YPI, periode 2002-sekarang). Dia amat rajin mengajak orang untuk bekerja sama dengan YPI, memperkuat barisan untuk menanggulangi HIV/AIDS di negeri kita.

(Samsuridjal Djauzi)