HIV/AIDS & Hepatitis C

Strategi Baru Penanggulangan HIV: “TEST and TREAT”

Empat dekade sudah berlalu setelah epidemi HIV dan AIDS pertama kali merebak. Babak baru strategi penanggulangan yang komprehensif pun dimulai. Strategi baru ini cukup menjanjikan, memberikan banyak harapan untuk meningkatkan hasil pengobatan, mendorong peningkatan kualitas layanan dan dukungan, dan sekaligus bermanfaat maksimal dalam pencegahan penularan HIV. Strategi baru ini dinamakan “Test and Treat”.
Namun kita akan membahas dulu sekilas sejarah perjalanan pengobatan HIV/AIDS yang dimulai sejak 1981, yakni ketika pertama kali kasus AIDS dilaporkan. Bahasan ini penting, karena perkembangan-perkembangan dalam teknologi pengobatan sangat mempengaruhi pola kebijakan yang diambil.

Perkembangan Strategi Penanggulangan HIV
Pada awal epidemi AIDS, pengobatan ditujukan untuk mengatasi berbagai infeksi oportunistik dan kanker yang menyertai penyakit AIDS. Selain itu dukungan untuk membantu odha menanggulangi berbagai masalah psikologis dan sosial juga menjadi pilar utama pengobatan.

Pengobatan pneumonia P carinii dengan kotrimoksasol atau pentamidin sangat penting ketika itu sekali. Berikutnya adalah pengobatan untuk mengatasi infeksi jamur dengan ketokonasol, flukonasol sampai itrakonasol. Juga pengobatan sarkoma Kaposi dengan kemoterapi. Dengan strategi itu odha (orang dengan HIV/AIDS) hanya bisa bertahan 6 bulan sampai 2 tahun sebelum akhirnya meninggal.

Era berikutnya dimulai dengan ditemukannya obat antiretroviral (ARV), terutama zidovudin sebagai obat tunggal. Beberapa tahun kemudian ditemukan lamivudine, dan terbukti kombinasi zidovudin dan lamivudine memberikan hasil yang lebih baik daripada obat tunggal. Di awal era ARV hanya odha yang sudah dalam tahap lanjut (AIDS) yang boleh mendapatkan pengobatan.

Kemudian disadari bahwa mengobati dengan ARV sebelum gejala AIDS muncul (yaitu sewaktu jumlah limfosit CD4 kurang dari 200 sel/mm3), hasilnya lebih baik. Manfaat pengobatan kombinasi 3 obat ARV (disebut juga Highly Active Anti-Retroviral Therapy, HAART), semakin jelas menekan angka kematian dan angka kesakitan.

Sekarang ini banyak sekali odha di Indonesia yang tetap sehat dan produktif setelah mengkonsumsi ARV selama lebih dari 10 tahun, bahkan ada yang telah minum ARV selama lebih dari 18 tahun.

Sayangnya, kita masih jauh dari kondisi ideal penanggulangan HIV dan AIDS. Data dari Kementerian Kesehatan RI pada akhir tahun 2013 menyebutkan dari estimasi 600 ribu kasus HIV dan AIDS di Indonesia, baru 160 ribu yang terdiagnosa. Sementara yang sudah mendapatkan ARV lebih kecil lagi, sekitar 40 ribu orang.

Belajar dari Bostwana
Namun, meski efektivitas ARV semakin tak diragukan, penerapan di lapangan terkendala oleh strategi VCT (Voluntary Counseling and Testing), yang berbasis kesukarelaan dan konseling panjang sebelum test dilakukan. Banyak negara kemudian menerapkan kebijakan untuk melakukan test rutin HIV dalam skala besar agar dapat segera memberikan pengobatan kepada warganya yang terinfeksi HIV. Dengan cara demikian, pertumbuhan kasus baru setiap tahun bisa ditekan.

Botswana misalnya. Pada tahun 2004, Sheila Tlou, menteri kesehatan Botswana, dibuat gundah oleh kenyataan bahwa setiap hari selalu ada rakyatnya yang meninggal. Ini bukan kisah khayal seorang raja di negara antah berantah, yang diserang pageblug (wabah) ribuan tahun yang lalu. Peristiwa ini benar-benar terjadi sepuluh tahun yang lalu. Harapan hidup rakyat Botswana turun drastis, bahkan yang perempuan tidak mencapai 50 tahun.

Beberapa orang yang meninggal sempat tes darah HIV. Ternyata penyebab kematian mereka adalah AIDS. Bagaimana mungkin? Laporan di meja Sheila selalu menyebutkan jumlah odha di negaranya hanya 5000 orang. Untuk diketahui, Botswana adalah sebuah negara di selatan Afrika dengan penduduk hanya sekitar 1,8 juta jiwa. Negara bekas protektorat Inggris ini merdeka tahun 1966. Botswana dikenal sebagai penghasil intan dan berlian dengan Gross Domestic Product 10.900 dolar per kapita per tahun atau dua kali lebih besar dari GDP negara kita tercinta.
Sheila Tlou tidak mau berpangku tangan. ARV tersedia gratis di negaranya. Odha yang minum ARV tampak sehat, normal bahkan produktif bekerja. Tapi mengapa banyak sekali yang meninggal? “Something must be wrong, very wrong”, pikirnya.

Akhirnya Sheila sadar, ada jurang lebar antara estimasi dengan kasus terlapor. Prakiraan jumlah odha di negerinya 350.000 sementara jumlah odha yang dilaporkan hanya 5.000 orang. Begitu banyak yang meninggal karena AIDS rasanya tidak masuk akal, karena banyaknya stok ARV di gudang obat Botswana. Di saat yang sama banyak negara maju sedang mengalami euforia karena odha tertolong setelah minum ARV. Penjelasan satu-satunya adalah rakyat Botswana meninggal sebelum sempat mendapatkan ARV.

Logika sehat Sheila berjalan baik. Kebijakan VCT yang dijalankan dinegerinya ia nyatakan gagal. Semua rakyatnya tanpa kecuali harus tes HIV. Bagi siapa yang positif Bu Menteri Kesehatan menyediakan layanan kesehatan yang komprehensif. Obat ARV dan obat TB (tuberculosis) gratis.
Itu kejadian 10 tahun lalu. Bagaimana hasilnya sekarang, setelah Botswana menerapkan kebijakan Test and Treat? Ternyata angka kematian akibat HIV di negara mungil tersebut turun drastis. Penularan dari ibu HIV ke bayinya juga menurun amat meyakinkan. Sekarang ini seluruh pimpinan negara Botswana masih bekerja keras untuk mengatasi ledakan jumlah pasien yang berobat ARV. Dari 5000 orang sekarang ada lebih dari 100.000 orang yang harus mendapat pengobatan terapi ARV. Namun hasil yang menggembirakan tentunya menyemangati mereka dalam kerja keras tersebut.

Jadi benar sekali bahwa kematian yang begitu banyak terjadi sebelum tahun 2004 sebenarnya adalah “preventable death”, kematian yang dapat dicegah. Inilah mungkin yang disebut sebagai pemimpin yang mempunyai leadership.

Test and Treat: Syarat dan Tantangan
Pendekatan Test and Treat didasarkan pada konsep, pertama, diagnosis dini dan pengobatan segera akan mengurangi angka kesakitan odha, baik akibat HIV ataupun penyebab lain. Kedua, pengurangan jumlah virus HIV (viral load) akan mengurangi penularan HIV secara amat bermakna. Test and Treat mempunyai tujuan memperbaiki kesehatan odha yang belum tahu status HIVnya. Pengobatan dini, dengan kata lain memperpanjang harapan hidup dan menekan angka kematian karena hasil pengobatan yang lebih baik.

Untuk mencapai tujuan tersebut strategi Test and Treat perlu didukung beberapa komponen penting, yaitu: (1) Test HIV dan identifikasi odha secepat mungkin, dimulai dari kelompok risiko tinggi, agar segera mendapatkan akses ARV; (2) lokasi test HIV tersebut perlu berjejaring kuat dengan rumah sakit atau layanan yang menyediakan ARV; (3) Pemberian penyuluhan, pendidikan kesehatan, dan konseling agar odha yang baru terdiagnosis memahami pentingnya adherens (tidak putus obat) dalam mengonsumsi ARV, serta upaya pencegahan dan pengobatan penyakit menular seksual; (4) memantau dan mengevaluasi strategi Test and Treat.

Untuk diketahui, Afrika Selatan dengan jumlah penduduk sekitar 50 juta jiwa telah memutuskan untuk melakukan test kepada 15 juta penduduknya (30%) sejak 25 Maret 2010. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan nyawa penduduk yang terinfeksi HIV, menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat ko-infeksi HIV dan tuberkulosis paru, serta menekan penularan HIV dari ibu ke bayi. Sekarang ini target 15 juta tes HIV penduduk Afrika telah tercapai. Sebanyak 88 persen yang tes HIV telah mendapat penjelasan hasilnya, dan ditemukan 2.200.000 orang yang positif HIV (18%).
Di Cina, pada tahun 2011 lebih dari 84 juta orang telah melakukan test HIV. Ditemukan 74.517 positif HIV, dan dari jumlah itu 45,843 orang di antaranya telah mendapat ARV. Perlu dicatat bahwa 27.6 persen di antara kasus positif HIV yang ditemukan di negeri Tirai Bambu setelah test rutin diberlakukan, telah terlanjur dalam tahap AIDS lanjut.

Bagaimana dengan di Indonesia? Menurut perhitungan para ahli, perkiraan orang dengan HIV/AIDS di Indonesia pada akhir tahun 2009 ada 333.200 orang. Namun sampai sekarang, yang terdiagnosis belum mencapai 100.000 orang. Berarti ada lebih dari 200.000 orang dengan HIV yang belum terdiagnosis. Belum terdiagnosis berarti belum mendapat pengobatan, dan risikonya mereka akan meninggal karena AIDS.

Yang perlu kita lakukan adalah memulai langkah awal dengan test HIV. Kemenkes RI pada tahun 2013, ketika masih di bawah kepemimpinan DR Nafsiah Mboi, telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan RI no 129/2013 yang menyerukan diberlakukanya test rutin dalam rangka pengendalian epidemi HIV dan penyakit menular seksual lainnya. Sayangnya hal itu belum ditindaklanjuti secara efektif hingga akhir 2014 ini. Banyak upaya advokasi yang diperlukan untuk menjadikan test rutin sebagai kenyataan.

Bukti-bukti efektivitas strategi Test and Treat sudah banyak. Tinggal kemauan politik pemerintah untuk melakukannya. Semoga pemerintah baru sekarang lebih kuat komitmennya dalam menyelamatkan anak-anak bangsa dan mencegah kematian yang sia-sia.

(zubairidjoerban.org)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *