Tahapan dari Infeksi HIV menjadi AIDS
Di tengah pandemi virus corona, semua mata dan tenaga tertuju terhadap COVID-19. Wajar saja, karena sampai saat ini belum ada obat untuk virus corona. Namun, sama seperti corona, masih ada penyakit lain yang juga menular dan belum ada obatnya.
Penyakit tersebut adalah Acquired Immuno Deficiency Syndrom (AIDS). Sama seperti corona, AIDS juga disebabkan virus yakni Human Immunodeficiency Virus ( HIV).
Virus HIV adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Virus HIV dapat masuk ke dalam sel darah putih dan merusaknya, sehingga jumlah sel darah putih yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi akan menurun.
Sebagai akibat dari kondisi tersebut, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan penderitanya mudah terkena berbagai penyakit. Kondisi inilah yang disebut sebagai Acquired Immuno Deficiency Syndrom (AIDS). Jadi, AIDS adalah kumpulan penyakit (sindrom) yang muncul akibat penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV.
Melansir Buku Bahan Ajar AIDS pada Asuhan Kebidanan (2015) oleh Yulrina Ardhiyanti, SKM., M.Kes., dkk., ketika individu sudah tidak lagi memiliki sistem kekebalan tubuh, maka semua penyakit dapat masuk ke dalam tubuh dengan mudah (infeksi oportunistik).
Oleh karena sistem kekebalan tubuh penderita AIDS menjadi lemah, maka penyakit yang tadinya tidak berbahaya bisa menjadi sangat berbahaya. AIDS biasanya disertai adanya bermacam-macam penyakit, seperti penyakit konstitusional, penyakit saraf, hingga penyakit infeksi sekunder.
Tahapan infeksi HIV berkembang jadi AIDS
Seseorang yang terinfeksi HIV pada umumnya tak langsung menyadari terpapar virus berbahaya tersebut. Tahapan infeksi HIV kira-kira membutuhkan waktu 2-15 tahun hingga menimbulkan gejala.
Melansir Buku HIV & AIDS: Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial Edisi 2 (2014) oleh Nasronudin, perjalanan infeksi HIV, jumlah virus dan gejala klinis melalui 3 fase ditambah 1 periode (4 tahap).
Berikut tahapan infeksi HIV berkembang menjadi AIDS:
1. Periode masa jendela
Periode masa jendela yaitu periode di mana pemeriksaan tes antibody HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah masuk ke dalam darah pasien dengan jumlah yang banyak.
Antibodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium karena kadarnya belum memadai. Antibodi terhadap HIV biasanya baru muncul dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer.
Periode jendela sangat penting diperhatikan karena pada periode jendela ini pasien sudah mampu dan potensial menularkan HIV kepada orang lain.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada periode ini sebaiknya yang mampu mendeteksi antigen p18, p24, p31, p36, gp120, gp41.
2. Fase infeksi akut
Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan virus-virus baru (virion) dengan jumlah hingga berjuta-juta virion. Viremia dari begitu banyak virion tersebut dapat memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala yang mirip penyakit flu atau infeksi mononukleosa.
Diperkirakan bahwa sekitar 50-70 persen orang yang terinfeksi HIV mengalami sindrom infeksi akut selama 3-6 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala umum, yakni:
- Demam
- Faringitis
- Limfadenopati
- Artralgia
- Mialgia
- Letargi
- Malaise
- Nyeri kepala
- Mual
- Muntah
- Diare
- Anoreksia,
- Penurunan berat badan
HIV juga sering menimbulkan kelainan pada sistem saraf meski paparan HIV baru terjadi pada stadium infeksi yang masih awal. Kondisi itu, antara lain bisa menyebabkan: Meningitis Ensefalitis Neuropati perifer Mielopati Sementara, gejala pada dematologi atau kulit, yaitu ruam makropapuler eritematosa dan ulkus mukokutan.
3. Fase infeksi laten
Pembentukan respons imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritik folikuler (SDF) di pusat germinativum kelenjar limfa dapat menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang, dan mulai memasuki fase laten.
Pada fese ini jarang ditemukan virion di plasma sehingga jumlah virion di plasma menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfa dan terjadi replikasi di kelenjar limfa.
Fase infeksi laten berlangsung rata-rata sekitar 8-10 tahun (dapat 3-13 tahun) setelah terinfeksi HIV. Pada tahun ke-8 setelah terinfeksi HIV, penderita mungkin akan mengalami berbagai gejala klinis, berupa:
- Demam
- Banyak berkeringat pada malam hari
- Kehilangan berat badan kurang dari 10%,
- Diare
- Lesi pada mukosa dan kulit berulang,
- Penyakit infeksi kulit berulang
Gejala ini merupakan tanda awal munuculnya infeksi oportunistik. Pembengkakan kelenjar limfa dan diare secara terus-menerus termasuk gejala infeksi oportunistik.
4. Fase infeksi kronos (AIDS)
Selama berlangsungnya fase ini, di dalam kelenjar limfa terus terjadi replikasi virus HIV yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfa adalah sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus dicurahkan ke dalam darah.
Pada fese ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. Respons imum tidak mampu meredam jumlah virion yang berlebihan tersebut.
Sementara, limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang kian banyak. Penurunan limfosit ini mengakibatkan sistem imun menurun dan penderita semakin rentan terhadap berbagai penakit infeksi sekunder.
Perjalanan penyakit kemudian semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS. Infeksi sekunder yang sering menyertai, di antaranya adalah:
- Pneumonia yang disebabkan oleh Pneumocytis carinii
- Tuberkulosis
- Sepsis
- Toksoplasmosis ensefalitis
- Diare akibat kriptisporidiasis
- Infeksi virus sitomegalo
- Infeksi virus herpes
- Kandidiasis esophagus
- Kandidiasis trachea
- Kandidiasis bronchus atau paru-paru
- Infeksi jamur jenis lain, misalnya histoplasmosis, koksidiodomikosis
Kadang-kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker, yakni kanker kelenjar getah bening dan kanker sarcoma Kaposi’s.
Pada tahap ini, penderita HIV/AIDS harus segera dibawa ke dokter dan menjalani terapi anti-retroviral virus (ARV). Terapi ARV bakal mengandalikan virus HIV di dalam tubuh sehingga dampak infeksi bisa ditekan.
Meski demikian, HIV sebenarnya dapat dikendalikan sedini mungkin sehingga bisa menekan peluang timbulnya AIDS.
Maka dari itu, sangat dianjurkan bagi masyarakat yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS untuk melakukan cek darah sedini mungkin. Masyarakat yang termasuk berisiko tinggi, di antaranya yakni pengguna narkoba dengan jarum suntik, kerap berganti pasangan dan berhubungan seks tanpa kondom.
Sumber : Irawan Sapto Adhi