Terapi ARV Hanya Redam Virus HIV, Bukan Memberantas
Antiretrovirals (ARV) telah diakui dunia sebagai obat yang bisa digunakan untuk mengobati HIV/AIDS. Namun, ARV belum mampu menyembuhkan HIV secara menyeluruh.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 87 Tahun 2014 disebutkan, ARV berguna untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi oportunistik, meningkatkan kualitas hidup penderita HIV, dan menurunkan jumlah virus (viral load) dalam darah sampai tidak terdeteksi.
ARV bekerja dengan cara mengontrol proses replikasi dari HIV yang menyerang sistem kekebalan tubuh dengan membuat salinan palsu dari DNA. Hal itu membuat HIV tampak seperti bagian normal dari tubuh yang tidak mengancam, sehingga sistem kekebalan tubuh tidak bisa mendeteksi virus dan keberadaan HIV dalam tubuh tetap aman.
Untuk mendapatkan manfaat ARV, pengidap HIV harus mengonsumsi obat seumur hidup. Sebab, jika tidak, pertumbuhan virus di tubuh tidak terkontrol dan bisa juga muncul resistensi terhadap obat.
Namun, sebelum mengonsumsi ARV, penderita harus terlebih dulu berkonsultasi pada dokter. Pasien yang akan menggunakan ARV juga harus memiliki orang yang bisa mengingatkan untuk selalu minum obat atau biasa disebut Pemantau Meminum Obat (PMO). Di Indonesia, hal tersebut sudah diatur oleh Kementerian Kesehatan.
Kendati terlihat sederhana, mengonsumsi ARV tidak semudah itu. Harus meminum obat rutin seumur hidup, belum lagi harus merasakan efek sampingnya, membuat para penderita HIV tidak betah mengonsumsi ARV.
Ketika mengonsumsi ARV, pengidap HIV akan mengalami efek samping seperti kepala pusing, tubuh terasa melayang, dan mendapat mimpi-mimpi aneh. Lebih lanjut, ARV membuat orang yang mengonsumsi berisiko mengidap penyakit degeneratif seperti jantung koroner, diabetes, kanker, stroke, hingga fungsi ginjal yang menurun.
Meskipun belum mampu menyembuhkan HIV secara menyeluruh, tapi sejauh ini terapi ARV dipercaya bisa menurunkan angka kematian dan rasa sakit, meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan meningkatkan harapan masyarakat. Setidaknya, ARV membawa citra baru tentang AIDS, yaitu sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang menakutkan.
Adapun penderita HIV yang bisa mengonsumsi ARV adalah penderita HIV dewasa dan anak usia 5 tahun ke atas yang telah menunjukkan stadium klinis 3 atau 4 atau jumlah sel Limfosit T CD4 kurang dari atau sama dengan 350 sel/mm3. Lainnya adalah ibu hamil dengan HIV, bayi lahir dari ibu dengan HIV, penderita HIV bayi atau anak usia kurang dari 5 tahun, dan penderita HIV dengan tuberkulosis;
Selain itu ARV juga bisa dikonsumsi oleh penderita HIV dengan hepatitis B dan hepatitis C, penderita HIV pada populasi kunci, penderita HIV yang pasangannya negatif; dan/atau, penderita HIV pada populasi umum yang tinggal di daerah epidemi HIV meluas.
Sumber : cnn