Tukang parkir yang mendirikan rumah khusus anak yang terkena HIV/AIDS
Rumah khusus ini terletak jauh dari permukiman warga dan anak-anak yang ditampung berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Mereka dititipkan di Rumah Singgah Lentera karena sejumlah alasan termasuk keluarga yang tak lagi mampu merawat mereka, atau bahkan ditolak.
Koordinator rumah khusus ini, Puger Mulyono, menyatakan anak-anak ini ditelantarkan pihak keluarga karena stigma terkait HIV/AIDS yang masih tinggi di masyarakat.
“Orang tua anak-anak yang terinfeksi HIV/AIDS kan sudah meninggal semua sehingga mereka itu yatim piatu. Karena mengetahui anaknya terinfeksi HIV/AIDS sehingga keluarganya menolak dan tidak mengakuinya sehingga mereka itu terlanta,” kata Puger kepada wartawan di Solo Fajar Sodiq yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Puger mengatakan ia pertama kali mengasuh anak dengan HIV/AIDS (ADHA) pada 2012 saat melihat ada anak yang ditelantarkan di satu rumah sakit di Solo.
“Adanya info anak dengan HIV/AIDS terlantar itu, kami memutuskan untuk merawatnya. Karena anak sudah dipulangkan oleh rumah sakit ke keluarganya di Mojosongo, kami pun menemui kakek dan neneknya. Ternyata mereka tidak mengakui jika itu cucunya atau sebagai anggota keluarganya. Akhirnya, mereka membolehkan kami untuk merawat anak itu,” ujarnya.
Anak ini secara bergantian ia asuh bersama teman dari yayasan lain sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk membuat rumah khusus untuk merawat dan mengasuh anak yang terkena HIV/AIDS dan ditelantarkan keluarganya.
“Dari kamar kos terus kami cari kontrakan… uang untuk mengontrak itu hasil penjualan motor milik Pak Yunus Prasetyo (rekan aktivis penamping anak dengan HIV/AIDS).”
“Di rumah kontrakan itu terus bertambah anak-anak dengan HIV/AIDS yang diititipkan, terus ada anak terinfeksi HIV/AIDS yang diantar neneknya diantar ke sini. Terus dari Boyolali ada tiga anak di rujuk ke sini,” cerita Puger yang sehari-hari bekerja sebagai tukang parkir untuk memberi nafkah keluarganya.
Selain menjadi tukang parkir, saat ini Puger sering diundang dalam acara menyangkut perawatan anak dengan HIV.
Ditolak di sana sini
Puger mengatakan warga di sekitar menolak keberadaan rumah khusus itu setelah mengetahui anak-anak yang tinggal di situ terkena HIV/AIDS.
“Ketika kontrak selama dua tahun selesai pada 2015 lalu, kami ingin memperpanjang kontrak tetapi warga menolaknya sehingga kami harus mencari rumah kontrakan baru,” katanya.
Saat pindah ke tempat baru bahkan ada warga yang melakukan demonstrasi, tambahnya lagi, walaupun tempat yang mereka tempati adalah rumah keluarga Puger sendiri.
Penolakan ini berkali-kali ia alami sampai ada seorang ustad yang membantunya menghadapi warga yang menolak.
“Setelah ditolak di sana-sini, akhirnya ada ustaz Mudzakir yang mengontrakkan rumah… Meskipun ada penolakan dari warga tapi ustaz Mudzakir pasang badan untuk menghadap warga yang menolak,” ceritanya.
Saat ini, rumah khusus yang mereka tempati untuk mengasuh dan merawat anak merupakan bagian bantuan dari pemerintah kota serta dinas sosial setempat dan juga pihak swasta untuk pembangunan rumahnya.
Jadi rujukan
Tujuh relawan membantu merawat 27 anak berusia dari satu tahun hingga sembilan tahun di rumah khusus ini.
“Ini sudah menjadi rujukan nasional. Anak-anak ini selain dari Solo dan sekitarnya, ada yang berasal dari Sulawesi, Papua, Jawa Timur, Jawa Barat, Batam dan daerah lainnya. Kami tidak bisa menolaknya karena tempat ini menjadi alternatif terakhir bagi perawatan ADHA,” kata Puger.
“Anak-anak itu harus minum obat tepat waktu seperti obat HIV, vitamin, obat infeksi dan obat lainnya. Jadi para relawan harus menyiapkan obat-obat itu untuk diminum anak-anak,” tuturnya.
Puger mengatakan tugas paling berat yang ia rasakan adalah ketika harus memberitahu kepada anak-anak saat beranjak dewasa bahwa mereka terkena HIV/AIDS.
“Jika mengetahui jika ternyata positif HIV/AIDS ada yang drop, tapi lama kelamaan kita pulihkan jiwanya. Dulu pernah ada yang drop, tak mau minum obat lagi dan meninggal. Akhirnya, dengan belajar dari para psikolog, kami mulai melakukan pendekatan religius kepada mereka,” kata dia.
Anak-anak Indonesia yang terkena HIV 14.000
Direktur badan AIDS PBB, UNAIDS, untuk Indonesia, Krittayawan Boonto, mengatakan Rumah Singgah Lentera di Solo ini “sering kali dijadikan contoh” dalam peratawan anak yang terkena HIV.
“Di beberapa daerah lain ada beberapa juga, namun rumah singgahnya kecil dan bentuknya kerjasama masyarakat lokal,” kata Krittayawan yang biasa dipanggil Tina.
Krittayawan mengatakan mengutip data Kementerian Kesehatan pada 2017 bahwa jumlah anak yang terkena HIV di Indonesia mencapai 14.000 dari total 620.000 orang yang terkena di Indonesia secara keseluruhan.
Dari jumlah 14.000 anak ini, hanya sekitar 24% atau hampir 3.500 yang mendapatkan pengobatan.
Tina mengakui bahwa para penderita HIV/AIDS masih menghadapi stigma yang tinggi karena salah paham soal penularan.
Ia mengatakan banyak yang tak tahu bahwa “HIV hanya dapat tertular melalui hubungan seks” dan orang tak dapat tertular hanya karena bersentuhan atau karena air ludah.
Ia mengatakan anak-anak yatim piatu yang menderita HIV/AIDS dan ditampung di rumah khusus biasanya mendapatkan bantuan dari masjid atau gereja serta pihak-pihak lain.
Mereka yang mendapatkan obat HIV secara teratur bisa sekolah dan melakukan kegiatan seperti anak-anak lainnya.
“Dengan konsumsi ARV (obat HIV), virus HIV bisa ditekan sampai tidak terdeteksi dan mereka akan tampak sehat seperti anak lain yang non-HIV,” kata Tina.
Tambahnya, “Mereka bisa belajar dengan tenang, tidak punya kebutuhan khusus. Jadi, bisa sekolah di sekolah umum. Sekolah juga harusnya nondiskriminasi.”
“Membuka status HIV (anak-anak) bukan menjadi kewajiban sekolah, tapi kewajiban sekolah adalah beri pendidikan ke semua anak.”
Oktober lalu, tiga anak di sekolah dasar di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, ditolak bersekolah karena para orang tua lain khawatir anak-anak mereka dapat tertular virus HIV.
Sumber : BBC