Visi & Misi

________________________

Visi :
Menjadi institusi terpercaya yang konsisten dalam mewujudkan masyarakat, khususnya remaja Indonesia, yang berperilaku hidup sehat secara mandiri , berwawasan luas sehingga mampu hidup produktif, berkualitas dan sejahtera pada tahun 2025.

Misi :

Membentuk kemandirian masyarakat khususnya peran aktif remaja untuk berperilaku hidup sehat, melalui upaya kegiatan pendidikan dan layanan kesehatan yang menjunjung tinggi pemenuhan hak asasi manusia dengan prinsip keadilan, kemitraan, kesetaraan, transparansi dan akuntabilitas.

Jejak Perjalanan Dua Dekade Yayasan Pelita Ilmu:

________________________________

Tak Henti Berdedikasi dengan Spirit Mandiri

Pada tahun 1983, seusai mengikuti sebuah training di Perancis, dr. Zubairi Djoerban (seorang dokter di RSCM/staf pengajar FKUI) melakukan penelitian di Jakarta terhadap sekitar 30 waria. Beliau menemukan dua orang diantaranya memiliki kadar limfosit T helper (CD4) yang sangat rendah (kurang dari 200/mm2), sehingga dinyatakan kemungkinan telah terinfeksi HIV. Kemudian pada September 1985, tes ELISA terhadap darah seorang perempuan dengan hemophilia berusia 25 tahun di Rumah Sakit Islam Jakarta, didiagnosa terinfeksi HIV, serta dengan gejala klinis yang menunjukkan AIDS. Kedua temuan penting ini kerap menjadi bahan obrolan dr. Zubairi dengan sahabatnya dr. Samsuridjal Djauzi yang pernah belajar di Universitas Mahidol, Bangkok. Kasus HIV/AIDS yang tinggi di Thailand, membuat dr. Samsu khawatir akan juga terjadi di Indonesia. Sejak tahun 1986, mereka kemudian menjadi pionir melakukan upaya pencegahan HIV dengan melakukan penyuluhan ke beberapa sekolah, saat di luar waktu bekerja, biasanya pada hari Sabtu sepulang bekerja.

Pada tanggal 4 Desember 1989, dr. Zubairi, dr. Samsuridjal dan Sri Wahyuningsih, SKM sepakat mendirikan sebuah lembaga di Jakarta yang diberi nama Yayasan Pelita Ilmu. Nama Pelita Ilmu muncul secara spontan karena pada masa-masa awalnya, kegiatan yang dijalankan berlokasi di sekolah-sekolah, sehingga seperti menjadi “pelita” bagi para pelajar SMA untuk mendapatkan “ilmu” tentang hidup sehat yang bertanggung-jawab untuk menghindari diri dari penularan HIV.

Perjalanan Yayasan Pelita Ilmu selama dua puluh tahun (1989 – 2009) tergambar dalam catatan berikut ini yang terbagi menjadi empat periode, yaitu periode 1) 1989-1994; 2) 1995-1999; 3) 2000-2004; 4) 2005-2009. Tiap-tiap periode memiliki momentum dan ciri khas program tersendiri berdasarkan kebutuhan masyarakat yang muncul.

5 TAHUN PERTAMA (1989 – 1994)

Pada periode lima tahun pertama, ketiga pendiri YPI bersama dengan Ketua Pengurus Drs. Bambang Samekto, MSc, biasanya sepulang kantor langsung mendatangi sekolah-sekolah SLTA untuk menyampaikan informasi penyuluhan HIV. Mereka membawa sendiri overhead proyektor, layar, minuman dan cemilan. Hampir dua tahun YPI membiayai sendiri kegiatannya. Bermodal semangat dan idealisme, para pendiri memulai kegiatan dari bawah dengan kekuatan sendiri. Bantuan dana yang kemudian datang memang memperluas cakupan dan aktivitas, namun tidak mengubah jati diri.

Setelah mendapat dukungan dana dari USAID/PCI termasuk dukungan teknis manajemen organisasi (misalnya dari Tim McKay, Abby Ruddick, Teguh Budiono, Junianto, Palupi Wijayanti), program menjadi berkembang berupa pendidikan penyuluh AIDS sebaya bagi siswa dan guru SLTA, yang dikenal dengan istilah PROPAS atau Program Peduli AIDS di Sekolah (Koord: Ibu Wahyu). Program ini tidak langsung mendapat sambutan bahkan banyak sekolah yang menolak dengan alasan perilaku muridnya baik baik. Melihat konsistensi dan dedikasi pengurus YPI serta kejelasan informasi bentuk kegiatan, akhirnya PROPAS bisa diterima masyarakat. Pelatihan Pelatih (ToT) yang diikuti pemimpin siswa (OSIS dan “siswa berpengaruh”) dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu di Sekretariat YPI Tebet, sehingga tidak mengganggu jadwal sekolah. YPI membiasakan mengevaluasi kegiatan dan mendokumentasikannya. Pelatihan selalu dilengkapi dengan pre dan post test. Logo cukup populer yang digunakan saat itu dinamakan “AIDS Buster” dengan slogan “perilaku sehat mencegah AIDS” yang tercantum di Majalah Warta PROPAS, majalah dinding, booklet, stiker, agenda, ataupun terpampang di spanduk, t-shirt para peer-educator.

Gencarnya YPI menjalankan beragam aktivitas peduli AIDS di ratusan sekolah SLTA se-DKI Jakarta membuat YPI pada masa itu sangat dikenal sebagai LSM dengan segmen program kalangan remaja. Kegiatan besar yang atraktif saat itu adalah Monas AIDS Day, berupa senam senam dan penyuluhan HIV khas remaja yang melibatkan masyarakat umum dan aparat pemerintah di lapangan Monas pada setiap peringatan Hari AIDS Sedunia 1 Desember. Selain itu, digelar rutin Konser Musik Peduli AIDS di Pasar Seni Ancol dengan musik utama Ikapari Country pimpinan Anto Soemartono dengan koordinator Dra. Retno Windrati, MSc. Bulan Desember 1994, Husein dan Ahmad Helmi (Staf YPI) ikut rombongan Yayasan Mitra Indonesia (Chun, Teddy, Cecep, Agus, Tri, Budi, dll) pimpinan Dr. Hudoyo Hupudio ke Merauke dengan pesawat Hercules untuk berpartisipasi pada kegiatan Kitorang Peduli AIDS.

5 TAHUN KEDUA (1995 – 1999)

Pada periode lima tahun kedua, selain kegiatan PROPAS yang terus berkembang, muncul program baru yang akhirnya menjadi salah satu ikon YPI, yaitu Upaya Dukungan Masyarakat untuk Orang dengan HIV/AIDS (Odha) yang dipusatkan di sebuah rumah kontrakan di daerah Kebon Baru Jaksel (Koord: Husein). Berbagai acara sosialisasi untuk warga setempat dilakukan agar bisa menerima kehadiran Sanggar Kerja dan Odha, seperti santunan yatim, temu karang taruna, penyuluhan tukang ojek, hingga lomba mini maraton dan lomba panjat pinang peduli AIDS. Karena tidak ingin menggunakan istilah “shelter” yang berkesan tempat pengasingan, maka nama rumah tersebut diubah menjadi Sanggar Kerja, yang merupakan buah ide dari Dra. Soemartini (alm), Ketua YPI berikutnya. Istilah penderita AIDS juga diubah menjadi Odha atas saran ahli bahasa, Prof. Dr. Anton Muliono. Dilaksanakan beberapa kali Pelatihan Relawan Pendamping Odha, yang dilanjutkan dengan aktivitas rutin berupa temu relawan setiap dua minggu sekali. Di Sanggar Kerja, terbentuk support group Odha dengan aktivis utamanya Suzana Murni (alm) yang menempati sebuah kamar nuansa biru dan putih. Majalah Support edisi pertama terbit tahun 1995. Terdapat sisipan dua halaman khusus antar Odha yang diasuh Suzana dengan nama Spiritia. Seminar Nasional Dukungan Odha digelar di Hotel Kemang Jakarta yang dihadiri Menko Kesra Ir. Azwar Anas dengan pembicara dalam dan luar negeri, seperti India, Thailand, Australia, Amerika Serikat.

Mendengar keprihatinan masalah AIDS di Irian Jaya, Dr. Samsuridjal dan Husein Habsyi tahun 1996 berkunjung dan mengadakan pelatihan AIDS bagi petugas kesehatan dan tenaga masyarakat di Merauke. Melihat langsung masalah besar di ujung timur Indonesia itu, sepulang ke Jakarta, YPI menggelar acara “Merauke Menjerit” didukung Forum Komunikasi LSM Peduli AIDS yang diketuai Dr. Adhyatma, MPH (alm). Enam orang relawan LSM Yasanto Merauke dimagangkan di Sanggar Kerja YPI dan ikut studi banding ke Thailand. Setahun kemudian, berdiri Sanggar Kerja Odha di Merauke. Kegiatan Sanggar Kerja YPI berkembang pesat salah satunya berkat dukungan Ford Foundation melalui Ibu Rosalia Sciortino. Pada tahun 1999, Sanggar Kerja tidak lagi cemas kehabisan uang sewa rumah, karena telah menempati sebuah rumah milik YPI sendiri. Kegiatan dukungan Odha selalu bersifat “client oriented” (berdasarkan kebutuhan Odha) dan diarahkan untuk kemampuan Odha hidup berdaya dengan prinsip GIPA (Greater Involvement of People Living with HIV/AIDS).

Sebelum memfungsikan Sanggar Kerja, YPI sebenarnya telah membeli sebidang tanah seluas 2,5 hektar di daerah Parung, Jawa Barat untuk dijadikan “Shelter AIDS” atas ide Dr. Zubairi, Ketua YPI berikutnya, yang termuat di Harian Kompas. Untuk mencari dana pembangunan “shelter”, YPI mengadakan turnamen golf pada tahun 1995. Saat itu, Ibu Nafsiah Mboi membantu mengetuk hati para peserta turnamen golf untuk memberikan sumbangan. Uniknya, meski masuk dana hampir seratus juta rupiah, namun modal kegiatan juga hampir sama, sehingga hanya dapat uang empat juta rupiah. Tak lama kemudian, ada donatur perorangan, Chris Green, yang peduli dan tertarik untuk mewujudkan ide pembangunan “shelter” dengan memberikan sumbangan dan pinjaman lunak, sehingga YPI mampu membeli tanah di seberang Sungai Cisadane tersebut. Dengan pindahnya ide “shelter” Parung ke fungsi Sanggar Kerja di Jakarta, maka kelak kegiatan di Pos Desa YPI Parung ini menjadi tempat pendidikan life-skill dan wirausaha bagi remaja desa; budi daya ikan, ternak, dan perkebunan; sarana perkemahan/ penginapan dan out-bond training bagi anak sekolah dan umum, yang merupakan bagian dari usaha fund-raising YPI (Koord: Adi). Para sahabat Odha dan keluarganya sering kali ikut terlibat dan menikmati suasana alam pedesaan YPI Parung.

Pada periode ini terbentuk Pos Desa YPI Karawang (Koord: Amang) dan Pos Desa YPI Indramayu (Koord: Ibut/Amin/Christin). Di Desa Tempuran, Karawang, YPI memulai cikal bakal program PMTCT dengan mendampingi seorang perempuan hamil HIV positif yang diperlakukan negatif oleh tetangganya, hingga melahirkan di RSCM Jakarta pada tahun 1996. Nama bayi yang kelak diketahui HIV negatif tersebut adalah Siti Olimpiana. Siti dari nama Dr. Siti Wisnuwardhani (alm) yang menolong persalinan caesar, dan Olimpiana karena tepat lahir saat pembukaan Olimpiade Atlanta.

Untuk mengenang sahabat yang telah meninggal karena AIDS dan memberikan dukungan kepada yang masih hidup, diadakan acara Malam Renungan AIDS pada bulan Mei 1996 dengan membuat Quilt berukuran besar yang merupakan gabungan dari 8 kain perca kenangan hasil karya para keluarga dan sahabat Odha. Acara ini digelar rutin setiap tahun dengan menampilkan berbagai kreasi seni (musik, teater, puisi) para relawan YPI. Pada tahun 1996, terbentuk Klinik Konseling dan Testing HIV (VCT) di YPI yang diberi nama Klinik Awanama. Inisiatif klinik ini berasal dari Dr. Noorwati dan Dr. Siti Chasanah Machdi (alm) setelah studi banding ke Thailand.

5 TAHUN KETIGA (2000 – 2004)

Memasuki era milenium baru, program YPI semakin banyak dan semarak sehingga membutuhkan tambahan base-camp (pos/ sekretariat kegiatan) di beberapa lokasi di DKI Jakarta, misalnya Program Penyuluhan dan Dampingan Anak Jalanan di Blok M, Jaksel (“Rumah Gaul”) dengan koordinator Widiatna; Program Pengendalian Narkoba Berbasis Masyarakat di Kampung Bali, Jakpus (“Kambal”), koord: Pungky; Program Kesehatan Reproduksi dan Keterampilan Hidup bagi Remaja di daerah Cijantung, Jaktim (“Die-J”), koord: Enny; Program Klinik Remaja di Pancoran dan Bukit Duri, Jaksel, koord: Usep dan Sari; Klinik Sahabat Keluarga di Jatinegera, Jaktim, koord: Ibu Wahyu; Program Dampingan Anak Komunitas di Duren Sawit, Jaktim (“Bonzie” & “Camp 4 Kidz”), koord: Henny.

Di awal periode ini, Ketua YPI, Prof. Samsuridjal mencanangkan agenda pelatihan YPI sepanjang tahun untuk diikuti masyarakat luas yang meliputi berbagai aspek, seperti pelatihan VCT, pelatihan relawan pendamping Odha, pelatihan kewaspadaan umum, pelatihan penyelenggaraan jenazah, pelatihan perawatan dan pengobatan AIDS. Pelatihan dengan fasilitator profesional berpengalaman ini dilaksanakan dengan semangat kemandirian, sehingga peserta diharuskan membayar biaya pendaftaran. Sebanyak enam aktivis AIDS dari Remedios Filipina sempat pula mengikuti pelatihan di YPI.

Sanggar Kerja YPI membentuk kelompok persahabatan Pelita Plus dengan ketua Muklis (alm), anggota aktifnya antara lain Ayung (alm), Yoga, Firman, Dicky, Andreas, Bayu. Kegiatan rutin mereka berupa pertemuan bulanan yang diberi nama Obras atau Obrolan Santap Siang. Direktur Eksekutif UNAIDS, Prof. Dr. Peter Piot ketika berkunjung ke Indonesia sempat mampir ke Sanggar Kerja dan mendapat surat harapan khusus dari Pelita Plus tentang hak akses ARV. Peter Piot dan Jane Wilson terkesan dengan sambutan Musik Marawis remaja Kebon Baru.

Program PMTCT (prevention of mother to child HIV transmission) berupa konseling dan tes HIV bagi ibu hamil di daerah kumuh DKI Jakarta dijalankan hingga 2001 berkat dukungan dana perusahaan internasional Becton Dickinson, setelah YPI memenangkan kompetisi penulisan proposal program AIDS se Asia Pasifik. Bertindak sebagai koordinator Kustin Kharbiati dan Mayanti. Program PMTCT kembali dilanjutkan tahun 2003 dengan dukungan dana GFATM Ronde 1, sehingga YPI menjadi salah satu dari sedikit LSM AIDS yang menjadi Sub-Recipient GFATM saat itu.

Dilakukan pula kegiatan penyuluhan kesehatan reproduksi, IMS, serta HIV dan AIDS bagi para calon tenaga kerja Indonesia yang sedang berada di beberapa penampungan sementara PJTKI di Jakarta, antara lain Barfo Mahdi, Kebon Baru. Kegiatan yang dilaksanakan YPI secara swadana ini (koord: Ibut dan Atiek) mendapat sambutan hangat dari ribuan calon TKI yang sebagian besar perempuan muda berasal dari pedesaan di Jawa.

Periode ini juga merupakan masa yang padat aktivitas upaya advokasi akses ARV di Indonesia. Selain melalui cara diskusi dan lobby, YPI bersama tim Pokdisus AIDS FKUI/RSCM dan ratusan aktivis/Odha pada tahun 2003 juga melakukan aksi damai Akses Obat AIDS Murah di Bundaran HI, Jakarta. Indonesia akhirnya melalui PT Kimia Farma memproduksi ARV generik dan pemerintah mensubsidi penuh pada tahun 2004.

5 TAHUN KEEMPAT (2005 – 2009)

Pada periode 2005 – 2009, kegiatan YPI telah berkembang luas hingga ke provinsi lainnya di Indonesia. Bermula ketika YPI dipercaya Depkes RI dan UNICEF pada tahun 2006 untuk mengadakan Pelatihan PMTCT bagi Petugas Kesehatan dan Tenaga Masyarakat dari 11 Provinsi. Selanjutnya, dengan dukungan GFATM Ronde 4, YPI mulai menjalankan program PMTCT komprehensif di enam provinsi dan bertambah menjadi sembilan provinsi, yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Papua, Bali, Kepulauan Riau (koord: Husein). Di tiap-tiap provinsi, YPI sebagai Sub-Recipient bermitra dengan sebuah LSM lokal sebagai Sub-Sub Recipient, antara lain PKBI Jabar Bandung, PKBI Kota Semarang, Yayasan Mulya Abadi Surabaya, Yayasan Gaya Celebes Makasar, Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat Jayapura, Yayasan Kerti Praja Denpasar, Yayasan Pembinaan Asuhan Bunda Batam.

Pada tahun 2005, dikembangkan Program Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Remaja Berbasis Teknologi untuk siswa SLTA oleh YPI bersama dengan WPF. Program dengan menggunakan CD interaktif ini dinamakan DAKU! (Dunia Remajaku Seru) dan telah diluncurkan oleh Depdiknas untuk digunakan di daerah-daerah (koord: Sari). Untuk dapat digunakan anak yang berada di lembaga pemasyarakatan, dihasilkan modul yang hampir serupa dengan nama SERU! (Sumber Edukasi Masa Remajaku) dan diluncurkan secara nasional oleh Departemen Hukum dan HAM (koord: Djajat).

Pada periode ini, YPI mengembangkan kegiatan penyuluhan, VCT, serta perawatan dan dukungan bagi para warga binaan pemasyarakatan di beberapa Lapas di Jakarta dan Tangerang (koord: Fadjri). Difungsikan sebuah base-camp YPI Tangerang, Provinsi Banten (koord: Djajat). Berdiri pula pada periode ini Klinik Sahabat Keluarga di Bekasi (koord: Ibu Wahyu). Untuk membantu masalah sosial di bidang pendidikan yang dialami anak-anak dari ibu HIV positif (terutama yang bergabung dalam “TOP Support”), pada tahun 2009 dijalankan kegiatan PAUD (pendidikan anak usia dini) berlokasi di sebuah ruangan di Sanggar Kerja (koord: Mayanti/Sundari). Kegiatan PAUD ini sekaligus mengurangi stigma dan diskriminasi karena melibatkan para anak-anak warga setempat.

Di tahun 2009, secara khusus YPI mulai menjalankan Program BPO atau Bantuan Pengobatan Odha (koord: Tiqoh), berupa penggalangan dana dari CSR beberapa perusahaan dan pemberian bantuan biaya pengobatan bagi orang terinfeksi HIV yang berlatar ekonomi lemah berupa biaya rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit, pemeriksaan laboratorium, pembelian obat-obatan.

Untuk meningkatkan kemampuan sustainability sebagai sebuah LSM, selama dua tahun para pengurus dan staf YPI mendapat dukungan peningkatan kapasitas dari ICOMP dalam hal organization viability (visi, misi, goal), financial security, program effectiveness, dan enduring impact. Untuk satu tahun berikutnya, dukungan yang diberikan untuk mencapai NGO excellence.

Kunjungan pada tamu yang ingin studi banding ataupun magang di YPI semakin banyak di periode ini. Tidak hanya berasal dari provinsi lain di Indonesia, namun juga tamu dari luar negeri. Misalnya kunjungan peserta training internasional BKKBN tentang kespro dan KB dari berbagai negara. Datang pula mahasiswa program AIESEC yang berasal dari Kanada, Belanda, China, Vietnam, Polandia, Nigeria, masing-masing magang selama tiga bulan di YPI.

Selama dua dekade berdedikasi, YPI menjalin kerjasama dengan berbagai mitra internasional, antara lain USAID, Ford Foundation, Global Fund, World Bank, WHO, AusAID, British Council, Save the Children, World Population Foundation, Medicine San Frontiers, Terre des Homme, Becton Dickinson, Levi’s, ILO, UNICEF, UNFPA, UNAIDS, PLAN, DFID/UNDP. Dua orang pembina YPI, Prof. Zubairi dan Prof. Samsuridjal, menjadi pimpinan panitia Konferensi AIDS Asia Pasifik IX, Agustus 2009 di Bali.

Pengembangan staf menjadi perhatian penting melalui pendidikan lanjutan (S1, S2) dan pelatihan/kursus ataupun mengikuti workshop/ konferensi di dalam dan luar negeri. Loyalitas staf dibuktikan dengan komitmen yang tinggi untuk terus berkreasi dan berinovasi. Berbekal pengalaman lapangan yang luas, pengurus dan staf YPI kerap kali terlibat untuk mengembangkan kebijakan dan program HIV dan AIDS tingkat nasional maupun daerah, misalnya bersama dengan KPAN, Depkes, Depdiknas, Dephukham, Depag, Depsos, Depnakertrans, BKKBN, Kemeneg PP, BNN. Selain itu, berperan langsung secara aktif mengembangkan kegiatan di Pokdisus AIDS FKUI/RSCM, PDPAI, MPAI, Sandar, IAKMI, IDI. Berbagai kegiatan lapangan berjalan lancar berkat kerjasama YPI dengan rumah sakit, puskesmas, Forum LSM AIDS, lembaga AIDS lain, universitas, dan mass media.

NOW & NEXT (2010 – Sekarang)

Memasuki tahun 2010, Yayasan Pelita Ilmu terlibat menjadi salah satu LSM nasional yang menjadi sub-recipient program HIV-AIDS nasional yang didanai oleh GFATM. YPI menjadi SR nasional dari PR Nahdlatul Ulama dalam menjalankan Program Penjangkauan Populasi Kunci di 11 Provinsi, yaitu Sumbar, Lampung, Banten, Yogyakarta, Kalbar, Kalsel, Kaltim, Sulut, NTB, NTT, Maluku. YPI bekerjasama dengan 11 LSM setempat sebagai SSR (sub-sub recipient), yaitu Yayasan Lantera Minangkabau, PKBI Lampung, Sankar Tangerang, Vesta Yogyakarta, Yayasan Pontianak Plus, LKKNU Kalsel, Yayasan LARAS, LKKNU Sulut, Yayasan Inset, Yayasan Tanpa Batas, LPPM Ambon.

Seiring bertambahnya kasus HIV pada perempuan yang memiliki resiko terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi, jumlah anak yang terinfeksi HIV juga kian bertambah. Mulai tahun 2010, YPI menjalankan Program Mitigasi untuk Anak HIV Positif (koord: Mayanti/Tiqoh), berupa: bantuan layanan kesehatan (biaya pemeriksaan dokter, obat-obatan, test CD4, VL, dll); bantuan nutrisi (susu, vitamin, dll); bantuan biaya pendidikan (SPP, buku2 pelajaran, seragam sekolah, dll). Program ini mendapat dukungan dana dari CSR Estee Lauder melalui KPAN. Secara khusus, dijalankan kegiatan PROSA, atau Program Susu untuk Odha Anak (koord: Fatimah) berupa penggalangan sumber daya dari CSR perusahaan untuk membantu anak-anak HIV positif mendapatkan nutrisi untuk kebutuhan tumbuh kembangnya; serta mendistribusikan susu tersebut ke berbagai daerah di Indonesia.

Keluarga besar Yayasan Pelita Ilmu mengajak kepada seluruh sahabat dan simpatisan di manapun berada untuk terus berkomitmen menggalang kepedulian membantu sesama, tak henti berdedikasi dengan spirit mandiri !